SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Sebuah pandangan menarik datang dari akademisi Barat mengenai peran budaya Jawa dalam perkembangan ilmu kebumian dunia. Dalam perbincangan di kanal YouTube Endgame episode #24 bertajuk “How Java Shaped Modern Earth Sciences”, dosen University of Glasgow, Adam Bobbette, menyebut bahwa tradisi dan spiritualitas di Pulau Jawa ikut membentuk cara modern memahami bumi dan geologi.
Bobbette berbincang dengan Bagus Muljadi, YouTuber sekaligus Asisten Profesor Teknik Kimia dan Lingkungan di University of Nottingham. Ia menyatakan bahwa ilmu kebumian di Indonesia bukan hanya soal sains dan teknologi, tetapi juga mengandung unsur spiritual dan politik yang kuat.
Menurutnya, pada abad ke-19, para ilmuwan kolonial yang meneliti gunung api di Jawa banyak belajar dari masyarakat lokal. Pengetahuan tradisional tentang bumi yang dibalut dalam ritual dan mitos ternyata berperan dalam membentuk cara berpikir ilmiah mengenai geologi.
“Ilmu modern tidak lahir dari penolakan terhadap mitos, tetapi dari pertemuan antara rasionalitas Eropa dan kebijaksanaan Nusantara,” ujar Bobbette.
Salah satu contoh paling menarik adalah hubungan spiritual antara Gunung Merapi dan Laut Selatan. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, keduanya dianggap saling berhubungan — api dan air, gunung dan laut, menjadi simbol keseimbangan kosmos. Tradisi seperti labuhan bukan sekadar ritual, tetapi juga mencerminkan pandangan sistemik tentang bumi sebagai satu kesatuan yang saling berinteraksi.
Menariknya, pandangan ini sejalan dengan konsep modern dalam geologi, yakni interconnected geodynamics, di mana pergerakan tektonik di satu wilayah bisa memengaruhi wilayah lain. Dengan kata lain, pandangan kosmologis Jawa telah lama menawarkan cara pandang yang selaras dengan ilmu pengetahuan modern.
Bobbette juga menyoroti bahwa tradisi Jawa tidak melihat alam sebagai benda mati. Gunung, laut, dan batu dipahami sebagai entitas hidup dengan jiwa dan kekuatan spiritual. Perspektif ini, menurutnya, bisa menjadi dasar etika baru dalam hubungan manusia dan alam — terutama di tengah krisis iklim dan eksploitasi sumber daya.
“Dalam tradisi Jawa, manusia tidak menguasai alam, tetapi berdialog dengannya,” katanya.
Percakapan ini membuka kesadaran baru bahwa Pulau Jawa bukan hanya ruang geografis, tetapi juga ruang pengetahuan — tempat sains, spiritualitas, dan politik bertemu untuk membentuk cara manusia memahami bumi.
Tradisi lokal seperti yang ada di Jawa sesungguhnya telah lebih dulu menanamkan prinsip keseimbangan ekologis yang kini menjadi nilai global. Bagi Bobbette, masa depan ilmu kebumian modern perlu mengakui dimensi spiritual dan relasional ini agar sains tetap memiliki “jiwa” — berpihak pada harmoni antara manusia dan bumi.
(Anton)