SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pajak selalu jadi isu panas. Naiknya tarif bisa memicu demonstrasi besar-besaran, bahkan kerusuhan. Baru-baru ini, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di Pati, Jawa Tengah, memicu aksi ricuh yang kemudian merembet ke daerah lain, seperti Bone, Cirebon, Jombang, hingga Semarang.
Bukan sekali ini pajak bikin rakyat “meledak”. Desember 2024, rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% ke 12% juga mendapat penolakan keras.
Namun, tahukah Anda, konsep pajak di Indonesia ternyata sudah ada sejak lebih dari 200 tahun lalu. Dan orang pertama yang memperkenalkannya bukanlah orang Belanda, melainkan seorang Inggris: Thomas Stamford Raffles.
Dari Firaun hingga Jawa
Sistem pajak sejatinya sudah lahir ribuan tahun lalu. Sekitar 300 SM, Firaun di Mesir Kuno memungut pajak dari gandum, tekstil, hingga tenaga kerja. Uniknya, sistem ini sudah mengenal asas keadilan: ladang yang subur dikenakan pajak tinggi, sedangkan lahan kurang produktif dikenakan lebih rendah.
Warisan sistem ini kemudian menular ke berbagai bangsa, termasuk Nusantara, meski baru benar-benar dijalankan pada abad ke-19.
Raffles, Perintis Pajak di Tanah Jawa
Saat Inggris mengambil alih Hindia Belanda pada 1811, Raffles menjadi penguasa kolonial di Jawa. Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018), Raffles-lah yang meletakkan dasar finansial negara kolonial lewat pajak.
Konsepnya sederhana tapi mengikat: Inggris dianggap pemilik semua tanah di Jawa, sehingga setiap petani wajib membayar pajak tanah. Bedanya dengan upeti tradisional, pungutan ini dibayar dalam bentuk uang dan atas nama individu, bukan desa.
Sayangnya, Raffles tak sempat menikmati hasil sistem pajak ciptaannya. Pada 1816, ia dipaksa angkat kaki dari Hindia Belanda, sementara sistem pajak yang ia tinggalkan makin diperketat oleh penguasa berikutnya.
Pajak Jadi Alat Kolonial
Tahun 1870, pemerintah kolonial memperluas pungutan dengan pajak pribadi, pajak usaha, hingga pajak jual beli. Targetnya bukan cuma petani jelata, tapi juga orang kaya pribumi dan Eropa.
Namun, beban tetap paling berat ditanggung rakyat kecil. Sejarawan Ong mencatat, pada awal abad ke-20, 60% pendapatan Hindia Belanda berasal dari pajak pribumi, khususnya pajak tanah.
Masalahnya, pajak era kolonial hanya menguntungkan pemerintah. Rakyat diperas tanpa ada timbal balik. Tak heran, pajak selalu jadi sumber kebencian sekaligus simbol ketidakadilan.
Pajak Zaman Now, Masih Bikin Rakyat Menjerit
Setelah merdeka, Indonesia mengubah wajah pajak: bukan sekadar untuk mengisi kas negara, tapi juga alat pemerataan dan peningkatan kesejahteraan.
Namun, setelah lebih dari 200 tahun berjalan, tujuan mulia itu masih jauh dari harapan. Alih-alih menyejahterakan, pajak sering terasa sebagai beban berat yang membuat rakyat semakin terhimpit.
Pajak di Indonesia punya sejarah panjang, dari gagasan Raffles di era kolonial hingga kebijakan modern saat ini. Bedanya, dulu pajak jadi simbol penindasan, sekarang seharusnya jadi alat kesejahteraan. Pertanyaannya: sudahkah fungsi itu benar-benar dirasakan rakyat?
Mau saya buatkan juga versi judul alternatif yang lebih clickbait ala media online, misalnya:
- “Bukan Belanda, Ternyata Orang Inggris Ini yang Pertama Kali Memperkenalkan Pajak di Indonesia”
- “Rahasia Terungkap: Sejarah Pajak Indonesia Dimulai dari Sosok Tak Terduga Ini!”
(Anton)