SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Anggota MPR dari Fraksi Golkar, Ahmad Labib, menegaskan bahwa sistem keuangan negara harus menjadi instrumen utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema “Sinergi Sistem Keuangan Negara dan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Sosial” di Kompleks Parlemen Senayan, Labib menjelaskan bahwa keuangan negara mencakup empat hal penting: APBN, perpajakan, pembiayaan, serta transfer ke daerah.
“APBN harus diarahkan ke sektor produktif seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, teknologi, dan perlindungan sosial. Tujuannya menjaga daya beli masyarakat, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan,” kata Labib.
Ia juga menekankan pentingnya optimalisasi penerimaan pajak, bukan dengan membebani rakyat kecil, melainkan mengejar penunggak pajak besar. “Ada 200 penunggak pajak dengan nilai Rp60 triliun. Jika ini ditagih, penerimaan negara bisa meningkat tanpa harus menambah beban masyarakat,” jelasnya.
Sorotan Kesenjangan Sosial
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, dalam kesempatan yang sama menyoroti masih tajamnya kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia, meski sudah 80 tahun merdeka.
“Yang kaya tujuh turunan tetap kaya, yang miskin tujuh turunan tetap miskin. Kesejahteraan hanya dinikmati elit, sementara rakyat kecil tercecer,” ujar Pangi.
Ia mengkritik kebijakan pajak yang dianggap lebih banyak menyasar kelompok menengah ke bawah, sementara kebocoran di sektor tambang, migas, dan perkebunan justru dibiarkan.
“Negara ini seperti berburu di kebun binatang. Pajak rakyat kecil dikejar habis-habisan, tapi kebocoran sektor tambang dan migas yang bisa sampai 80 persen tidak ditutup,” tegasnya.
Pentingnya Pasal 33 UUD 1945
Pangi juga mengingatkan perlunya kembali pada semangat Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Data menunjukkan 78 persen rakyat Indonesia masih berpenghasilan di bawah Rp700 ribu per bulan. Sementara segelintir orang terkaya bisa memenuhi kebutuhan ratusan juta rakyat. Kesenjangan ini sudah sangat dalam,” ujarnya.
(Anton)