SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pangan bukan sekadar soal makan. Ini soal hidup dan mati bangsa! Begitulah nada tegas yang disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, saat bicara lantang soal pentingnya revisi Undang-Undang Pangan. Dalam Forum Legislasi yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (20/5), Johan benar-benar tak main-main: Indonesia terlalu lama bergantung pada impor, sementara petani lokal justru terabaikan!
“Kalau Bung Karno bilang, pangan itu hidup matinya sebuah bangsa. Tapi undang-undang kita belum mampu menjamin ketahanan, apalagi kedaulatan pangan,” — Johan Rosihan, Anggota Komisi IV DPR RI
Ketergantungan Impor? Sudah Parah!
Menurut Johan, UU Pangan No. 18 Tahun 2012 yang berlaku saat ini gagal total dalam mengendalikan dominasi produk impor. Bukannya melindungi petani, UU tersebut justru membuka celah bagi praktik impor berlebih yang merugikan produksi dalam negeri. Lebih parah lagi, tak ada sanksi jelas bagi pelaku kebijakan impor yang merugikan.
“Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar semata. Negara harus hadir, memimpin, dan menjamin bahwa rakyat terlindungi dalam urusan pangan,” tegas Johan.
Tiga Masalah Serius di UU Pangan Lama
Johan secara blak-blakan mengungkap tiga kelemahan utama UU Pangan 2012:
- Produksi nasional tidak jadi prioritas.
- Impor tidak dikendalikan dengan sanksi tegas.
- Tidak ada penguatan peran negara seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
Ia bahkan menyoroti lemahnya kebijakan cadangan pangan nasional, dengan contoh nyata: dari total produksi beras 19 juta ton, Bulog hanya bisa menyerap 3 juta ton. Sisanya? “Petani dibiarkan bingung,” ujar Johan pedas.
“Bulog hanya diberi kuota menyerap 3 juta ton dari total produksi 19 juta ton. Lalu, nasib 16 juta ton produksi petani ke mana?” — Johan Rosihan
Pemerintah Dinilai Gagal Kendalikan Harga
Johan juga mengkritisi klaim pemerintah yang menyatakan impor beras telah dihentikan. Nyatanya, harga beras dalam negeri tetap tinggi dan Indonesia masih tergantung pada impor sejumlah komoditas vital: kedelai, gula, daging, hingga bawang putih.
“Kalau benar kita bisa mempengaruhi harga beras dunia, mengapa harga dalam negeri masih tinggi?” — Johan Rosihan
Menuju Swasembada yang Nyata, Bukan Gimmick!
RUU Pangan yang akan dibahas, kata Johan, harus lebih dari sekadar kosmetik politik. Revisi ini harus hadir sebagai langkah konkret untuk swasembada pangan sejati di tengah tantangan krisis global dan perubahan iklim.
Ia bahkan mengusulkan reformasi kelembagaan besar-besaran, termasuk pembentukan Kementerian Pangan, yang akan menggabungkan fungsi Bulog dan Bappenas dalam mengatur urusan pangan nasional.
“Tapi Bulog harus tetap ada dan diperkuat sebagai instrumen pemerintah,” tegasnya.
Grand Design Ketahanan Pangan: Bukan Sekadar Wacana!
Johan tak hanya melontarkan kritik, tapi juga membawa solusi besar. Ia menggagas empat pilar strategis ketahanan pangan nasional:
- Produksi: Berdaulat dan berkelanjutan
- Distribusi: Adil dan terkendali
- Konsumsi: Bergizi dan berbasis lokal
- Cadangan: Tangguh dan mandiri
Ia juga meminta agar lahan pertanian berkelanjutan ditetapkan sebagai prioritas nasional, serta dimasukkan dalam tata ruang wilayah Indonesia secara resmi.
“Pangan adalah urusan hidup mati bangsa. Negara harus berada di depan. Ini bukan sekadar kebijakan, tapi mandat konstitusi,” tutup Johan dengan penuh tekanan.
Kesimpulan
Revisi UU Pangan bukan hanya agenda teknis legislatif, tapi misi nasional menyelamatkan masa depan pangan Indonesia. DPR RI kini ditantang: akankah mereka sungguh berpihak pada petani dan kedaulatan pangan, atau terus menyerah pada dominasi pasar global?
Pantau terus! Apakah revisi ini benar-benar akan membawa perubahan, atau hanya jadi bumbu politik semata?
(Anton)