SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Diplomatik senior dan pemerhati politik internasional, Prof. Imron Cotan, berharap Presiden Prabowo Subianto dapat menjadi penengah dalam konflik perang tarif antara Amerika Serikat (AS) yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump dengan Kanada, Meksiko, dan China.
Peran Indonesia sebagai Penengah
“Indonesia sebagai negara middle power bisa menjadi penengah agar negara-negara besar ini tidak terus-menerus bertarung dalam perang tarif,” ungkap Imron Cotan dalam acara Gelora Talks dengan tema “Perang Tarif Amerika Vs Kanada, Ada Apa?”, yang digelar pada Rabu (5/2/2025).
Menurutnya, jika perang tarif ini berlanjut, Indonesia akan menjadi salah satu pihak yang merasakan dampaknya. Salah satu risiko yang dapat terjadi adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Saya melihat dari perang tarif ini, yang menderita kita-kita juga. Buktinya nilai kurs dollar sekarang sudah Rp 16.400. Kalau terus dibiarkan, maka rupiah akan terpuruk,” tambahnya.
Prabowo Sebagai Pemimpin Global
Imron Cotan juga menegaskan pentingnya kepemimpinan Presiden Prabowo yang memiliki visi global yang kuat. Ia percaya bahwa Prabowo mampu menjalin hubungan baik dengan pemimpin dunia, termasuk Presiden Donald Trump.
“Beliau bisa dengan gampang telepon dengan Presiden Trump. Mudah-mudahan Presiden kita memberikan mitigating factors. Indonesia bisa memainkan perannya di sini, sehingga perang tarif tidak berlanjut,” ujarnya.
Dampak Perang Tarif pada Ekonomi Global
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia (2003-2005) dan Tiongkok (2010-2013) ini menjelaskan bahwa perang tarif tidak hanya memengaruhi negara yang terlibat, tetapi juga dapat mengganggu jalur logistik internasional dan meningkatkan ketegangan di kawasan Asia-Pasifik, khususnya di Laut China Selatan.
“Perang tarif ini tidak hanya merusak ekonomi negara yang bertikai, tapi juga menghancurkan ekonomi secara global, terutama ekonomi negara-negara kecil,” ujarnya.
Perang Tarif sebagai Taktik Geopolitik Trump
Imron Cotan menilai bahwa kebijakan perang tarif ini mungkin merupakan taktik Presiden Trump untuk menarik perhatian dunia, terutama negara-negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS. Ia juga optimis bahwa Presiden Prabowo dapat memberikan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.
Penundaan Perang Tarif ke Kanada dan Meksiko
Sementara itu, pada Senin (3/2/2025), Presiden Trump memutuskan untuk menunda kebijakan tarif yang dikenakan terhadap Kanada dan Meksiko setelah kedua negara tersebut membalas dengan mengenakan tarif serupa sebesar 25 persen. Sementara China dikenakan tarif sebesar 10 persen.
Indonesia Tidak Terdampak Langsung
Di sisi lain, Ketua Koordinator Bidang Ekonomi DPP Partai Gelora Indonesia, Dr. Bramastyo B. Prastowo, menjelaskan bahwa perang tarif antara AS dan negara-negara tersebut tidak akan berpengaruh langsung kepada Indonesia.
“Indonesia tidak akan kena dampak perang tarif ini, karena perekonomian kita tidak langsung berhubungan dengan Amerika, jika melihat data ekspor-impor Indonesia,” kata Bramastyo.
Bramastyo juga mengungkapkan bahwa ekspor-impor Indonesia ke AS sangat kecil, hanya sekitar 0,8-0,9 persen. Sementara, perdagangan AS dengan Kanada, Meksiko, dan China mencapai 40 persen.
“Trump sengaja menerapkan tarif tinggi ke Kanada, Meksiko, dan China sebagai langkah strategis untuk bisa mendapatkan langsung dana segar dari pengenaan tarif ini,” tambahnya.
Peluang Indonesia untuk Meningkatkan Perdagangan
Meskipun tidak terdampak langsung, Bramastyo menilai bahwa situasi ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke negara-negara seperti Kanada, Meksiko, dan China.
“Jadi, ketika perdagangan dengan Amerika tidak banyak, maka Indonesia bisa menambah peluang perdagangan dengan Kanada, Meksiko, dan China. Ekspor-impor kita harus ditingkatkan,” tegasnya.
Perang Strategi, Bukan Perang Tarif
Di sisi lain, pakar politik luar negeri dan keamanan, Pitan Deslani, berpendapat bahwa yang terjadi sebenarnya bukanlah perang tarif, melainkan perang strategi yang dilakukan oleh Presiden Trump.
“Ini bukan perang tarif, tapi perang strategi. Semua perdagangannya, militernya, dan strategi geopolitiknya terlibat,” ujar Pitan.
Tekanan Ekonomi AS
Pitan menjelaskan bahwa kebijakan perang tarif ini juga berkaitan dengan kondisi ekonomi AS yang sedang tertekan, dengan hutang negara yang diperkirakan mencapai sekitar 36,2 triliun dolar AS pada 2025.
“Presiden Trump ini berada dalam satu masa di mana tekanan ekonomi dalam negerinya sangat berat. Makanya dia mau mengambil Kanada jadi provinsi ke-51 dan mengambil alih Greenland (Denmark) dengan menambah kekuatan alutsistanya di sana,” jelasnya.
Kepentingan Geopolitik AS di Meksiko
Menurut Pitan, AS memiliki kepentingan besar terhadap Meksiko, yang tidak hanya terkait dengan minyak dan sumber daya alam, tetapi juga dengan isu imigrasi ilegal.
“Pendatang yang tidak terdaftar atau ilegal, masuk Amerika mencapai 11 juta orang, 50 persennya berasal dari Meksiko. Trump mencurigai, imigran dari Meksiko ini membawa fentanyl, semacam narkoba sintetis yang kadarnya setaraf kali lebih kuat dari morfin dan heroin,” ujar Pitan.
Dengan berbagai alasan tersebut, Pitan menyimpulkan bahwa kebijakan Trump sebenarnya lebih terkait dengan strategi geopolitik global daripada perang dagang itu sendiri.
“Kenapa Kanada marah besar kepada Amerika? Karena mereka sudah membantu saat Badai Katrina dan kebakaran dua kali di Los Angeles, mati-matian, malah mau dimasukkan jadi provinsi Amerika,” pungkasnya.
(Anton)