SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Pertemuan antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan di Bogor dinilai sebagai momentum penting bagi Indonesia untuk meningkatkan peran diplomasi globalnya. Isu Palestina pun menjadi sorotan utama, terutama setelah perubahan sikap Amerika Serikat (AS) yang menolak solusi dua negara.
Sikap Indonesia dalam Isu Palestina Dinilai Belum Kuat
Ketua Pusat Studi Amerika Universitas Indonesia (UI), Prof. Suzie Sudarman, menyoroti bahwa kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu Palestina selama ini belum berbasis strategi yang kuat.
“Kita masih kurang serius dalam menyikapi kebijakan luar negeri AS, terutama soal Palestina. Ini akibat dari kondisi domestik yang belum tertata, sehingga kita tidak punya karakter yang kuat dalam diplomasi global,” ujar Suzie dalam diskusi Gelora Talks bertajuk “Bom Waktu! Trump Ingin Relokasi Warga Gaza-Palestina, Apa Konsekuensinya?” pada Rabu (12/2/2025).
Suzie juga menyoroti efektivitas diplomasi Indonesia yang masih lemah dibandingkan negara lain.
“Negara seperti Korea Selatan punya K-pop yang membuat citra global mereka kuat, sementara AS punya industri film yang mendominasi dunia. Indonesia belum punya daya tawar yang cukup untuk diperhitungkan di panggung internasional,” tambahnya.
Namun, ia menilai bahwa pertemuan Prabowo dan Erdoğan bisa menjadi titik awal yang baik untuk memperkuat peran diplomasi Indonesia.
“Jika Prabowo bisa menjalin hubungan erat dengan Turki, Indonesia bisa lebih berpengaruh dalam isu Palestina dan berbagai persoalan global lainnya,” tegasnya.
Partai Gelora: Indonesia Harus Tegas Lawan Tekanan AS
Ketua Pusat Solidaritas Palestina DPP Partai Gelora, Tengku Zulkifli Usman, menegaskan bahwa dukungan Indonesia terhadap Palestina tetap konsisten sejak era Presiden Soekarno hingga Prabowo.
“Sayangnya, masih banyak kekuatan politik di Indonesia yang enggan membahas isu Palestina secara serius. Padahal konstitusi kita jelas memerintahkan untuk membantu kemerdekaan Palestina,” ujarnya.
Zulkifli juga mengkritik pendekatan beberapa kelompok di Indonesia yang hanya fokus pada penggalangan donasi untuk Palestina tanpa membangun narasi yang kuat di tingkat global.
“Bukan hanya soal ‘nasi’ atau donasi yang kita berikan, tapi kita harus punya narasi yang kuat agar dunia mendengar sikap tegas Indonesia,” tambahnya.
Menurutnya, Indonesia harus memanfaatkan momentum ini untuk menolak tekanan AS, terutama setelah Presiden Donald Trump kembali berkuasa dan mengusulkan relokasi warga Gaza.
Trump dan Ancaman Relokasi Warga Gaza
Kebijakan AS di bawah Trump yang menolak solusi dua negara dan mengusulkan pemindahan warga Gaza ke luar Palestina mendapat kecaman luas. Duta Besar RI untuk Yordania dan Palestina, Ade Padmo Sarwono, menilai bahwa sikap AS ini adalah ancaman serius bagi penyelesaian konflik Palestina-Israel.
“Trump menegaskan kembali proposal relokasi warga Gaza ke Yordania dan Mesir, sementara Gaza akan dijadikan proyek properti untuk warga Timur Tengah lainnya. Ini adalah pengulangan tragedi Nakba 1948,” jelasnya.
Ade Padmo juga menyoroti ancaman Trump kepada Yordania, yang menolak rencana tersebut.
“Trump bahkan mengancam akan menghentikan bantuan keuangan ke Yordania jika mereka tidak menerima warga Gaza. Ini menunjukkan betapa seriusnya agenda ini,” katanya.
Indonesia Harus Berani Ambil Sikap
Muslim Imran, Direktur Asia Middle East Center for Research and Dialogue, menegaskan bahwa perang di Gaza bukan sekadar konflik Israel-Palestina, tetapi lebih luas sebagai perang kepentingan AS.
“Trump punya agenda besar untuk mengubah Gaza menjadi pusat bisnis dan pariwisata, bukan untuk rakyat Palestina. Tapi rakyat Palestina menolak ini,” ujar Muslim.
Ia berharap Indonesia bisa bersikap independen dan menolak tekanan AS terkait proposal relokasi ini.
“Indonesia di bawah Prabowo bisa berperan lebih besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dan melawan tekanan AS,” pungkasnya.
Dengan adanya pertemuan Prabowo dan Erdoğan, Indonesia memiliki peluang untuk memperkuat posisi diplomatiknya, baik dalam isu Palestina maupun kebijakan luar negeri secara umum. Langkah selanjutnya adalah bagaimana pemerintah Indonesia dapat menggunakan momentum ini untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat Palestina secara lebih tegas dan efektif.
(Anton)