SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengulas beberapa poin penting terkait dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor: 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, dalam acara diskusi Silaturahmi Kebangsaan, di Gedung Nusantara IV, Parlemen, Senayan, Jakarta, (23/5/2023).
Menurut LaNyalla, terdapat beberapa poin penting terkait dengan hal tersebut antara lain:
Pertama, Inpres ini didahului dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu, atau disingkat TPP-HAM. Keppres tersebut menugaskan TPP HAM tentang pelanggaran HAM berat masa lalu, untuk kemudian memberikan rekomendasi penyelesaian non-yudisial. Dimana rekomendasi kepada korban dan keluarga korban meliputi rehabilitasi fisik, bantuan, jaminan kesehatan, beasiswa dan atau rekomendasi lainnya.
Menurutnya, harus diakui, sejak lahirnya Keppres Tahun 2022 tersebut terjadi polemik di masyarakat. Mengingat salah satu rekomendasi dari Komnas HAM yang harus diselesaikan adalah peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965, yakni saat itu, kita semua mengetahui telah terjadi peristiwa upaya kudeta yang dilakukan Partai Komunis Indonesia terhadap negara ini. Yang kemudian TNI, khususnya Angakatan Darat, mengambil langkah untuk melakukan operasi pemulihan keadaan melalui penangkapan tokoh-tokoh utama PKI yang diduga terlibat dalam upaya kudeta tersebut. Setelah itu, terjadi situasi konflik horizontal di kalangan sipil, antara pengikut dan pendukung PKI dengan Non-PKI.
Dikatakanya lebih lanjut, kita juga tahu, bahwa konflik horizontal sipil tersebut juga dipicu oleh rangkaian sejarah panjang aksi-aksi kelompok Komunis di Indonesia yang terjadi jauh sebelum tahun 1965. Sehingga, menurut LaNyalla, bangsa ini masih belum dapat menerima secara hitam putih bahwa dalam peristiwa 1965-1966, seperti yang dinyatakan Komnas HAM, bahwa posisi korban adalah mereka yang terlibat atau pengikut PKI. Atau dengan kata lain, pegiat PKI dan keluarga pegiat PKI adalah korban pelanggaran HAM berat.
Kedua, upaya penyelesaian yudisial sudah terbukti tidak dapat ditempuh, karena Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menyatakan tidak bisa diproses karena kurang atau lemahnya alat bukti.
Ketiga, Inpres tersebut memerintahkan kepada 19 institusi negara, yang terdiri dari 16 Kementerian, ditambah Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri untuk melaksanakan rekomendasi TPP-HAM.
Dalam kesempatan memberikan pengantar diskusi tersebut, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattaliti, berujar penting untuk digali, seberapa luas makna kata memulihkan hak korban? Karena salah satu yang diperjuangkan PKI saat itu, adalah menawarkan ideologi komunisme di Indonesia. Sedangkan kita sebagai bangsa telah bersepakat, bahwa Pancasila adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. “Bahkan saya pribadi menilai, bahwa kita masih harus terus memperjuangkan agar Pancasila dapat kembali menjadi norma hukum tertinggi di dalam konstitusi kita, yang telah mengalami perubahan di tahun 1999 hingga 2002 silam,” pungkasnya.
Selain itu dikatakan LaNyalla, jika rekomendasi dari TPP-HAM dalam durasi masa lalu hanya berhenti di tahun 1965-1966, bagaimana dengan peristiwa sebelumnya? Termasuk di dekade tahun 1948, saat itu aksi kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan PKI di bawah pimpinan Muso juga membawa korban yang tidak sedikit di kalangan masyarakat sipil, khususnya para santri dan kiai pondok pesantren.
Silaturahmi Kebangsaan ini mengambil tema “Menakar Konsekuensi Kenegaraan Indonesia Terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia Yang Berat.” Hadir dalam kesempatan diskusi teesebut antara lain Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno sebagai Keynote Speech (melalui zoom meeting dari kediamannya), dan beberapa narasumber seperti Wakil Ketua DPD RI, Letjen TNI. (Mar) Purn. Dr. Nono Sampono MSi, Mantan KSAD TNI Tahun 2007-2009, Jenderal (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo, pakar Filsafat Pancasila, Prof. Dr. Kaelan, M.Si dan dimoderatori oleh Dr. Alirman Sori, SH, M.Hum, MM (Anggota DPD RI asal Provinsi Sumatera Barat). Selain itu juga dihadiri Ketua MPR RI, Dr. Bambang Susatyo, SE, MBA, Sekretaris Jenderal DPD RI, Dr. Rahman Hadi, M.Si, Deputi Bidang Administrasi Setjen DPD RI, Lalu Niqman Zahir, S.Sos. M.Si dan sejumlah pakar dan pemerhati persoalan pelanggaran HAM serta organisasi kemasyarakatan lainnya.
Menurut LaNyalla, tema ini diambil, karena banyak aspirasi dan permintaan dari masyarakat yang meminta penjelasan sekaligus pendalaman atas terbitnya Inpres tersebut. Selain itu, sebagai tindak lanjut dari Rapat Gabungan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI, yang secara khusus telah membahas persoalan ini pada 10 April 2023. (Ahmad Djunaedi).