Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia, Abdul Chair Ramadhan, menilai bahwa kecurangan yang dilakukan petahana sudah sangat sistematis dan masif, sehingga Mahkamah Konstitusi seharusnya mendiskualifikasinya jika ingin menegakkan keadilan.
“Sudah sangat tepat jika kita menyimpulkan, dengan pendekatan analisis teoritis yuridis, bahwa petahana ini harus didiskualifikasi oleh MK. Jika kita memang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan, maka keputusan ini harus diambil,” ujar Abdul dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (2/1/2025).
Penyalahgunaan Wewenang dan Mobilisasi Aparat
Abdul mengungkapkan bahwa terdapat indikasi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang dilakukan oleh petahana. Penyalahgunaan ini, menurutnya, terjadi dalam beberapa bentuk, di antaranya:
- Mobilisasi aparatur pemerintahan dari level camat, lurah, kepala desa, SKPD, hingga ASN Kabupaten Banggai untuk memenangkan calon petahana.
- Restrukturisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diarahkan untuk meningkatkan elektabilitas petahana.
- Percepatan penyaluran bansos pada bulan November 2024, meskipun Kemendagri telah mengeluarkan edaran untuk menghentikan sementara bansos menjelang pemilu.
- Intervensi terselubung terhadap aparat desa dan kecamatan guna memengaruhi preferensi pemilih.
“Ada indikasi kuat bahwa petahana menggunakan anggaran daerah dan kewenangannya untuk memenangkan pemilihan secara tidak sah. Ini yang kita kenal dengan strategi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM),” kata Abdul.
Menurutnya, paradigma TSM dalam politik elektoral menunjukkan bahwa kenaikan suara yang diraih petahana tidak terjadi secara alami, melainkan merupakan hasil manipulasi kekuasaan yang merusak demokrasi.
MK Diminta Diskualifikasi Petahana dan Gelar Pemungutan Suara Ulang
Abdul menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya mengeluarkan putusan untuk mendiskualifikasi calon petahana. Ia juga menilai bahwa pemungutan suara ulang harus dilakukan, tetapi tanpa menyertakan petahana sebagai calon.
“Proses perolehan suara tidak dapat dipisahkan dari cara pemilihan itu dilaksanakan. Oleh karena itu, jika ditemukan pelanggaran yang signifikan, maka pemilihan ulang tanpa petahana merupakan keputusan yang sah dan tepat,” ujar Abdul.
Ia menambahkan bahwa calon petahana tidak boleh kembali mencalonkan diri, karena telah terbukti melanggar prinsip pemilu yang jujur dan adil.
Pakar Hukum: Politik Uang dan Manipulasi APBD Rusak Demokrasi
Guru Besar Hukum Konstitusi Universitas Pakuan Bogor, Andi Asrun, juga menyoroti bahwa penyalahgunaan anggaran negara oleh petahana telah menjadi model yang berulang di berbagai daerah.
“Praktik politik uang ini sering kali dibarengi dengan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan pejabat struktural seperti camat dan kepala desa. Mereka diberikan janji peningkatan anggaran menjelang pencoblosan sebagai bentuk tekanan politik,” kata Andi dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Minggu (2/2/2025).
Menurutnya, bentuk-bentuk politik uang yang terjadi dalam Pilkada Banggai 2024 antara lain:
- Distribusi sembako dan bantuan tunai dengan dalih program pemerintah.
- Pelaksanaan proyek pembangunan mendadak yang dijadikan alat kampanye terselubung.
- Mobilisasi pejabat daerah untuk memenangkan petahana.
“Strategi ini dirancang untuk menyamarkan politik uang sebagai ‘bantuan pemerintah’, yang akhirnya secara langsung memengaruhi suara pemilih,” tambah Andi.
Ia menilai bahwa praktik semacam ini tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga membuat pemilu kehilangan prinsip keadilan dan transparansi.
Kecurangan Terbantu oleh Kelemahan Penyelenggara Pemilu
Lebih jauh, Andi menyoroti hubungan antara petahana dan penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, yang sering kali memperburuk situasi.
“Dalam beberapa kasus, Bawaslu enggan memberikan sanksi atas pelanggaran petahana, sementara KPU menolak rekomendasi yang diajukan oleh Bawaslu. Ini membuktikan bahwa ada hubungan simbiosis mutualistik antara petahana dan penyelenggara pemilu, yang membuat pemilu tidak lagi netral,” ujarnya.
Ia juga mengkritik bagaimana kepala daerah petahana memanfaatkan APBD sebagai modal politik untuk mempertahankan kekuasaan. Menurutnya, anggaran daerah sering kali disalahgunakan, dengan mengalokasikan proyek-proyek yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan publik.
“Kondisi ini sangat berbahaya bagi demokrasi. Pemilu seharusnya menjadi ajang kompetisi yang sehat, bukan hanya perebutan kekuasaan yang penuh manipulasi,” tegas Andi.
Kesimpulan: Demokrasi Terancam, MK Harus Bertindak Tegas
Dalam konteks Pilkada Banggai 2024, para pakar hukum menilai bahwa praktik kecurangan yang dilakukan petahana telah mencederai demokrasi secara serius.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi didesak untuk mengambil tindakan tegas, yaitu:
- Mendiskualifikasi calon petahana atas dugaan pelanggaran yang bersifat TSM.
- Menggelar pemungutan suara ulang tanpa petahana, agar pemilihan lebih adil.
- Memperketat pengawasan terhadap penyalahgunaan anggaran pemerintah dalam pemilu.
Masyarakat pun diimbau untuk lebih waspada terhadap praktik politik uang dan ikut mengawasi jalannya pemilu agar demokrasi tetap terjaga.
“Jika kondisi ini dibiarkan, maka demokrasi di Indonesia akan semakin terpuruk dan pemilu hanya menjadi alat bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya,” pungkas Andi.
(Anton)