SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI menggelar *Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia* bertema *”Menterjemahkan Makna 4 Pilar dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”*, bertempat di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan.
Diskusi yang berlangsung Rabu siang ini menghadirkan Ketua Fraksi PKB MPR RI Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz dan pengamat politik Fernando Emas. Keduanya membedah secara kritis relevansi dan praktik empat pilar kebangsaan yang kerap disosialisasikan oleh MPR: **Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI**.
#### **Neng Eem: Sosialisasi Masih Penting, Tapi Harus Relevan**
Dalam pemaparannya, Neng Eem mengakui bahwa gaung sosialisasi empat pilar memang mulai meredup, salah satunya karena kehadiran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di ranah eksekutif. Namun, ia menegaskan bahwa peran MPR dalam menyebarluaskan nilai-nilai konstitusional tetap krusial karena menjangkau masyarakat melalui daerah pemilihan masing-masing anggota MPR.
“Empat pilar ini perlu didekatkan pada kehidupan sehari-hari masyarakat, bukan sekadar konsep tinggi yang sulit dipahami. Misalnya, sila pertama soal Ketuhanan Yang Maha Esa bisa dimaknai dengan menjalankan ajaran agama masing-masing secara baik dan benar,” ujarnya.
Namun ia juga tak menutup mata terhadap kenyataan. “Sila ke-5 tentang keadilan sosial, misalnya, masih sering dirasa belum menyentuh masyarakat. Ini menjadi refleksi dan koreksi bagi kita semua,” tambahnya.
#### **Fernando Emas: Jangan Sekadar Seremonial dan Foto-Foto**
Pengamat politik Fernando Emas tampil lebih kritis. Ia mempertanyakan efektivitas program sosialisasi empat pilar jika praktik berbangsa masih kerap menabrak nilai-nilai dasar tersebut.
“Setiap lima tahun, urusan kekuasaan bisa mengoyak nilai-nilai yang katanya jadi fondasi bangsa. Politik identitas masih marak, korupsi tetap jalan, dan demokrasi sering dikalahkan oleh ambisi,” katanya tajam.
Ia juga menyoroti fenomena ketimpangan sosial dan hukum yang membuat sila ke-5 hanya jadi slogan. “Kalau empat pilar benar-benar dihayati para pejabat, tidak akan ada lagi kepala daerah yang ditangkap KPK karena menyalahgunakan anggaran,” ujarnya.
Fernando mendorong agar sosialisasi empat pilar tidak hanya jadi proyek seremonial berbiaya besar. “Pertanyaannya, apakah para pejabat benar-benar menjiwai empat pilar ini? Kalau iya, seharusnya tidak ada lagi rakyat yang merasa diabaikan oleh negara,” tegasnya.
#### **Kritik untuk Konsistensi Konstitusi**
Diskusi juga menyentuh soal UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi. Neng Eem menegaskan bahwa segala keputusan kenegaraan seharusnya merujuk pada UUD selama belum diamandemen. Sementara Fernando menyoroti perlunya keseragaman tafsir antara DPR, Mahkamah Konstitusi, dan para pakar hukum dalam menyusun legislasi penting seperti UU Pemilu.
“Jangan sampai setiap pemilu, aturan berubah karena tafsir berbeda-beda. Ini merusak kepastian hukum dan mencederai demokrasi,” pungkas Fernando.
(Anton)