SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah mulai tahun 2029. Sejumlah ahli hukum diundang, termasuk mantan hakim MK Patrialis Akbar.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini menimbulkan pro dan kontra. MK menyatakan bahwa pemilu nasional (presiden, DPR, DPD, dan DPRD) dan pemilu daerah (gubernur, bupati, wali kota) sebaiknya dilaksanakan secara terpisah. Alasan utamanya adalah untuk menyederhanakan tahapan dan mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu.
Namun, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menilai putusan MK ini bermasalah. Ia menyebut MK seolah bertindak seperti pembuat undang-undang tanpa melibatkan masyarakat atau proses pembahasan di DPR.
“Ini putusan penting yang menyangkut masa depan demokrasi kita. Tapi apakah sudah melibatkan partisipasi publik? Itu yang harus kita pertanyakan,” ujarnya saat memimpin rapat.
Sementara itu, Patrialis Akbar dalam rapat tersebut menyatakan bahwa putusan MK ini bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, konstitusi jelas menyebutkan bahwa pemilu harus dilakukan secara serentak setiap lima tahun sekali. Ia juga menegaskan bahwa kepala daerah bukan bagian dari pemilu nasional.
“Pasal-pasal dalam UUD kita menyatakan pemilu lima tahunan itu satu kesatuan. Kalau dipisah, itu jelas bertentangan,” tegas Patrialis.
Sejumlah anggota Komisi III pun mengungkapkan kekhawatiran bahwa pemilu yang dipisah bisa memunculkan kerumitan baru dan menambah biaya penyelenggaraan negara. Mereka meminta pemerintah dan DPR lebih berhati-hati dalam menyikapi putusan ini.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya masih mengkaji kemungkinan untuk menyesuaikan aturan hukum atau bahkan merevisi konstitusi agar putusan MK ini bisa dijalankan secara sah.
Putusan MK soal pemilu terpisah menuai perdebatan di DPR. Komisi III memanggil para ahli, termasuk Patrialis Akbar, untuk memberikan masukan. Mayoritas pendapat menyebut putusan tersebut perlu dikaji lebih dalam karena berpotensi bertentangan dengan konstitusi dan membingungkan masyarakat.
(Anton)