SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Skandal besar tengah mengguncang dunia peradilan Indonesia! Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), kini menjadi sorotan publik setelah diduga terlibat dalam praktik suap yang melibatkan vonis lepas dalam kasus ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan tiga perusahaan besar, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Menurut informasi yang terungkap, Muhammad Arif Nuryanta diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar untuk memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap ketiga perusahaan tersebut. Vonis lepas adalah keputusan hakim yang menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, namun perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Sabtu malam (12/4/2025), Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, mengungkapkan bahwa uang suap sebesar Rp 60 miliar tersebut dibagi-bagi antara Muhammad Arif Nuryanta dan tiga hakim yang menangani kasus ini: Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM), dan Djuyamto (DJU).
“Uang tersebut diserahkan oleh Muhammad Arif Nuryanta. Dia awalnya memberikan Rp 4,5 miliar kepada ketiga hakim tersebut. Namun pada September-Oktober 2024, dia menyerahkan uang lagi, kali ini sebesar Rp 18 miliar kepada Djuyamto,” ungkap Abdul Qohar.
Namun yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa Djuyamto kemudian membagi uang tersebut kepada hakim lainnya, yakni Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom, di sebuah lokasi yang sangat strategis: depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
Ketika uang tersebut dihitung, nilainya sungguh fantastis! Agam Syarif Baharuddin (ASB) menerima uang dalam bentuk dolar AS yang jika dihitung dengan nilai tukar rupiah setara dengan Rp 4,5 miliar. Djuyamto mendapatkan uang senilai Rp 6 miliar, sementara Ali Muhtarom (AM) juga menerima sejumlah uang dalam bentuk dolar AS, yang jika diubah ke rupiah, setara dengan Rp 5 miliar.
“Semua uang tersebut digunakan untuk mempengaruhi keputusan hakim dalam kasus ekspor CPO, yang tentunya bertujuan untuk membebaskan perusahaan-perusahaan besar tersebut dari jeratan hukum,” kata Abdul Qohar, dengan nada yang mengungkapkan betapa besar dampak suap ini terhadap integritas sistem peradilan.
Penyelidikan Kejaksaan Agung masih terus berlangsung untuk mengungkap lebih dalam tentang skandal ini. “Kami masih mengembangkan kasus ini, apakah ada pihak lain yang turut menerima bagian dari suap tersebut atau apakah semua uang suap itu dikuasai oleh Muhammad Arif Nuryanta saja,” ungkap Qohar dengan penuh teka-teki.
Tindak pidana korupsi ini bukan hanya merusak integritas para hakim yang terlibat, namun juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang seharusnya menjadi tempat terakhir untuk mencari keadilan. Kasus ini menjadi bukti nyata betapa rentannya sistem hukum terhadap praktek korupsi yang merusak tatanan keadilan.
Muhammad Arif Nuryanta kini terancam hukuman yang sangat berat. Ia disangkakan dengan Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan ketiga hakim yang terlibat, Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM), dan Djuyamto (DJU), juga disangkakan melanggar sejumlah pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Publik kini menunggu kelanjutan penyelidikan ini dengan penuh harap dan kekhawatiran. Akankah skandal ini berujung pada pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, atau malah semakin memperburuk citra hukum di Indonesia? Waktu yang akan menjawabnya.
Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa penyelidikan terhadap skandal ini masih terus berkembang. Pihak berwenang berjanji akan mengungkap siapa saja yang terlibat dalam jaringan korupsi ini, dan tidak akan memberikan ampun bagi siapa pun yang mencoba merusak sistem hukum Indonesia.
Skandal ini membuka mata masyarakat tentang betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses peradilan, dan mengingatkan kita akan bahaya besar yang dapat ditimbulkan oleh praktik korupsi dalam dunia hukum.
(Anton)