SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Ketika Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia bersulang ria karena banjir dana asing, Bursa Efek Indonesia justru duduk di pojokan ruangan, memainkan lagu galau sambil memeluk grafik merah.
Bank Indonesia merilis kabar manis: dari 30 Juni sampai 3 Juli 2025, investor asing mencatat beli neto (net inflow) sebesar Rp10,79 triliun. Duit itu mengalir deras ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp15,14 triliun dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp2,04 triliun. Tapi di pasar saham? Justru kabur. Asing mencatat net sell Rp2,31 triliun. Bahkan menurut data BEI sampai 4 Juli, sudah tembus Rp2,8 triliun.
Ibarat kondangan, SBN dan SRBI jadi primadona pesta. Sementara saham? Ya, diajak joget pun nggak.
Padahal inflow yang masuk ke SBN minggu lalu adalah yang terbesar dalam dua bulan terakhir. Bahkan menjadi yang terbaik sejak September 2024. Hal ini didorong oleh imbal hasil SBN 10 tahun yang makin menurun, menyentuh 6,06 persen—terendah sejak Oktober 2024. Semakin rendah yield, artinya harga obligasi naik. Investor happy, pemerintah juga bisa senyum tipis.
Sementara itu, SRBI yang sempat ‘zonk’ kini mulai kembali menggoda. Setelah sempat ditinggalkan, dua pekan terakhir investor asing mulai mampir lagi. Mungkin karena melihat mantan sudah lebih stabil dan mapan.
Namun, pasar saham masih seperti jomblo yang ditinggal waktu lagi sayang-sayangnya. Dalam tiga pekan terakhir saja, dana asing keluar sampai Rp6,2 triliun. Kondisi global yang lagi tegang, terutama karena perang dagang, bikin mereka pilih cabut duluan.
Penyebab utamanya? Siapa lagi kalau bukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang kembali bikin dunia pegang napas. Setelah sempat janji mau bikin banyak perjanjian dagang bilateral, eh, malah berubah haluan. Mulai 4 Juli 2025, AS bakal kirim surat ke negara-negara mitra, isinya bukan salam hangat, tapi ancaman tarif impor baru: mulai dari 20% sampai 70%.
Surat itu akan dikirim per paket 10 negara, semacam “paket kado spesial” dari Washington. Kalau nggak ada kemajuan negosiasi sampai 9 Juli, tarif akan resmi berlaku mulai 1 Agustus. Menteri Keuangan AS Scott Bessent bahkan sudah kasih bocoran: tarif yang sempat ditangguhkan sejak April, bakal aktif lagi kalau negara-negara mitra masih adem ayem.
Dengan kondisi seperti ini, investor memilih jalur aman. Mereka masuk ke instrumen stabil seperti SBN dan SRBI, sementara pasar saham—yang fluktuatif dan penuh drama—sementara ditinggal dulu.
Kesimpulan: Kementerian Keuangan dan BI boleh angkat gelas merayakan kemenangan arus modal, tapi Bursa Efek Indonesia harus siap jadi sobat tangguh yang tetap tegar ditinggal saat pesta. Semoga minggu depan nasibnya berubah, atau setidaknya ada yang ngajak joget bareng.
(Anton)