SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus terjadi setiap tahun di Indonesia mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi IV DPR RI. Dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Mendorong Penguatan Penanganan dan Pencegahan demi Menekan Penyebaran Karhutla” di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (31/7), para legislator menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, pemanfaatan teknologi, dan reformasi kelembagaan dalam menangani bencana ini secara sistemik.
Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, menegaskan pentingnya kerja sama antara pemerintah, masyarakat lokal, dunia usaha, dan LSM lingkungan dalam menjaga kawasan hutan, khususnya di daerah rawan seperti Gunung Lawu, Jawa Timur. Ia mengapresiasi peran relawan masyarakat yang bekerja menjaga hutan secara swadaya, meski dengan peralatan terbatas.
“Mereka adalah pejuang hutan. Hidupnya separuh untuk menyelamatkan hutan karena ekonomi mereka juga bergantung pada kelestariannya,” kata Riyono.
Ia menyayangkan rendahnya alokasi anggaran penanggulangan bencana yang disebutnya belum mencapai satu persen dari APBN. Menurutnya, Indonesia harus mulai meninggalkan pendekatan tradisional dan beralih ke pemanfaatan teknologi modern sebagaimana diterapkan di negara-negara maju.
Riyono juga mengusulkan pendekatan pengawasan berbasis klaster dan pentingnya edukasi masyarakat. Ia mempertanyakan apakah kondisi hutan nasional sudah berada dalam “lampu kuning” atau bahkan “lampu merah”, sebagai sinyal darurat yang perlu segera ditangani dengan serius.
Senada dengan Riyono, Firman Soebagyo menilai karhutla sebagai bencana tahunan yang butuh penanganan lintas sektor. Politisi Partai Golkar itu menyebut pembentukan lembaga khusus seperti Instituto Brasileiro do Meio Ambiente (IBAMA) di Brasil sebagai solusi yang layak diadopsi di Indonesia.
“Kalau kita punya lembaga seperti IBAMA, ini bisa menjadi KPK-nya lingkungan hidup. Bukan hanya kuat secara hukum, tapi juga tanggap dan memiliki otot untuk bergerak cepat,” ujarnya.
Firman mengkritisi lemahnya penegakan hukum di lapangan. Banyak aparat kehutanan disebut tidak berani menindak pelaku pembakaran karena terlibatnya oknum berseragam dan politisi daerah. Selain itu, ia juga menilai BNPB saat ini terlalu terbebani dengan banyak tugas lintas bencana, tetapi minim alat, SDM, dan anggaran.
Firman mendorong optimalisasi dana desa untuk memperkuat edukasi dan pengawasan masyarakat desa terhadap potensi karhutla, serta meminta pemerintah mengevaluasi regulasi pembakaran lahan terbatas yang masih diperbolehkan.
Agus Riyanto, Direktur Dukungan Sumber Daya Darurat BNPB, melaporkan bahwa sejumlah wilayah seperti Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara tengah menjadi perhatian utama karena risiko tinggi karhutla menjelang puncak musim kemarau pada Agustus.
“Kami sudah menerapkan sumber daya darat dan udara secara intensif di empat provinsi utama. Modifikasi cuaca jadi salah satu strategi utama dalam dua pekan terakhir,” ujar Agus.
BNPB saat ini mengoperasikan 7 armada udara untuk operasi hujan buatan dan pemadaman, termasuk di Jambi dan Sumatera Selatan. Menurut Agus, penurunan titik panas (hotspot) sudah mulai terlihat berkat operasi cuaca dan patroli gabungan daerah.
Namun, ia menegaskan pentingnya sinergi dengan Satgas Daerah, BMKG, dan pemangku kepentingan lainnya agar respons kebakaran lebih cepat, akurat, dan tidak meluas ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Ketiga narasumber sepakat bahwa penanganan karhutla tidak bisa dilakukan secara sektoral atau reaktif. Diperlukan reformasi besar dalam sistem pengawasan, peningkatan teknologi, pemberdayaan masyarakat, hingga pembentukan lembaga khusus yang memiliki wewenang dan sumber daya memadai.
Tanpa langkah nyata dan dukungan politik yang kuat, kebakaran hutan tak hanya merusak lingkungan dan kesehatan, tetapi juga mengancam ketahanan pangan dan masa depan generasi mendatang.