SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ceritanya ingin mengubah nasib, tapi malah nyasar di tengah laut. Begitulah nasib para Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural yang kembali jadi sorotan, setelah dua orang berhasil “diselamatkan” dari Turki oleh DPD RI. Ya, dua. Dari ribuan kasus yang masih gelap gulita.
Senator Papua Barat, Filep Wamafma, yang belakangan makin vokal soal isu ini, kembali naik pitam. Menurutnya, kasus ini hanya puncak es di lautan birokrasi dan mafia yang main mata.
“Yang dua dari Turki itu baru permukaannya. Bulan Mei lalu, ada 16 orang PMI dibuang di tengah laut Batam kayak barang bajakan. Janjinya dijemput, realitanya ditinggalin. Ini jelas ulah mafia!” katanya, menyindir pedas.
Data horor datang dari Sakernas 2023: hanya 65,6% PMI yang berangkat pakai visa kerja. Sisanya—sebanyak 34,4%—jalan tikus alias jalur non-prosedural: pakai visa turis, visa ziarah, atau mungkin cuma modal nekat dan kartu nama perekrut abal-abal.
Faktanya, PMI lebih memilih cara cepat dan murah. Menurut BPS, 57,4% lewat jaringan teman/keluarga (modal “katanya”), 26,8% direkrut langsung oleh pemberi kerja misterius, 9,8% lewat agen swasta, 3,5% pakai agen pemerintah, dan sisanya entah bagaimana—pokoknya sampai.
Dan ternyata, murahnya jalur non-prosedural berbanding lurus dengan mahalnya masalah yang datang belakangan. Aduan ke BP2MI kuartal I 2025 bikin kening berkerut:
Jenis Aduan | Jumlah Kasus |
---|---|
Ingin pulang | 123 |
Gagal berangkat | 60 |
Gaji tak dibayar | 41 |
Meninggal | 27 |
Pekerjaan tidak sesuai | 21 |
Rekrut ilegal | 15 |
Sakit | 13 |
Paspor ditahan | 11 |
Penipuan kerja | 9 |
Perdagangan orang | 8 |
Kekerasan oleh majikan | 8 |
Meninggal di negara tujuan | 5 |
Dalam tahanan | 3 |
Total: 481 kisah getir dalam 3 bulan saja. Ini bukan statistik, ini tragedi nasional.
Menurut Filep, negara harus stop memandang PMI sebagai “mesin uang kiriman dari luar negeri.” Target Rp 300 triliun dari remitansi jangan sampai bikin negara lupa bahwa nyawa dan martabat manusia lebih penting dari dolar.
“Jangan cuma bangga jumlah PMI, tapi cuek saat mereka disiksa, dibuang, ditipu atau tak dibayar,” sentilnya, keras.
Filep juga memberi lima resep “obat pahit” untuk negara:
Pertama, revisi UU No. 18 Tahun 2017. Amandemen penting biar perlindungan PMI bukan cuma basa-basi atau slogan kampanye.
Kedua, kerja sama pusat-daerah harus nyata, bukan sekadar rapat zoom dan seremoni tanda tangan. Semua pihak dari Imigrasi, Polisi, hingga Dukcapil harus ngobrol dan kerja bareng. Jangan kayak sinetron: rame di atas, ribut di bawah, solusi gak kelihatan.
Ketiga, perjanjian bilateral dengan negara tujuan harus diperkuat. Biar PMI gak kerja kayak budak tanpa kontrak, tanpa gaji, tanpa perlindungan.
Keempat, penataan sistem migrasi dan data nasional tenaga kerja harus satu pintu. Satu data, satu sistem. Jangan sampai negara bingung, “Lho, ini orang kok bisa keluar?” padahal itu warga sendiri.
Kelima, hukum harus tegas pada mafia dan perekrut ilegal. Tapi jangan rakyat kecil yang dimarahin. Sosialisasi perlu digencarkan dan birokrasi perlu disederhanakan. Jangan sampai warga kapok ngurus dokumen karena ribetnya ngalahin ikut kuis berhadiah.
Penutupnya jelas. Mau kerja ke luar negeri itu hak, bukan taruhan hidup. Tapi selama negara masih setengah hati, dan mafia masih berkeliaran dengan jas rapi dan kartu nama legal, nasib PMI kita bakal tetap jadi lotre berhadiah trauma.
Kalau kata Filep: “Kita ini negara besar. Tapi kalau soal perlindungan pekerja, jangan terus-terusan kecil hati.”
(Anton)