SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Masih hangat dari dapur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), aroma tak sedap kembali tercium dari sektor perbankan pelat merah. Kali ini, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) jadi sorotan usai pengungkapan dugaan korupsi dalam proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) yang merugikan negara hingga Rp 700 miliar. Angka yang cukup untuk membeli ribuan mesin EDC—atau membangun banyak sekolah, jalan desa, atau bahkan stadion mini.
Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, tidak tinggal diam. Dalam pernyataannya, ia menyatakan keprihatinan mendalam terhadap skandal yang disebutnya sebagai bukti “retaknya sistem tata kelola dan pengawasan di BRI.”
“Ini bukan cuma perkara pidana korupsi. Ini adalah sinyal SOS dari dalam BRI sendiri,” kata Wakil Ketua Fraksi PKS itu, Rabu (2/7), dengan nada prihatin yang nyaris bisa membuat kucing pun ikut menggelengkan kepala.
Dengan nada tegas, Amin menyoroti kerugian fantastis yang mencapai 33,3% dari total anggaran proyek sebesar Rp 2,1 triliun. Ia mempertanyakan kemana perginya prinsip transparansi, akuntabilitas, dan value for money yang seharusnya menjadi pedoman setiap proyek di institusi besar seperti BRI.
“Kalau SPI (Sistem Pengendalian Internal) dan audit internal saja sudah tumpul, ya wajar kalau korupsi bisa merajalela,” ujarnya. “Kita bicara soal Rp 700 miliar, bukan uang receh hasil kembalian belanja di minimarket.”
Amin juga menyentil manajemen risiko operasional BRI yang ia nilai gagal mendeteksi potensi fraud dan krisis reputasi. Ia menyebut, seharusnya risiko sebesar ini tidak bisa lolos dari radar Direksi maupun Dewan Komisaris.
“Pertanyaannya sekarang, apakah ada laporan yang sengaja dibiarkan? Atau sistemnya memang dari awal sudah disetel untuk bisa diakali?” sindir Amin dengan gaya retoris yang menyengat.
Politisi yang juga anggota BAKN DPR RI itu menambahkan, kerugian sebesar itu tentu akan berdampak langsung pada rasio keuangan BRI. Berdasarkan laporan kinerja kuartal I 2025, laba bersih BRI sebesar Rp 15 triliun. Kerugian Rp 700 miliar itu setara dengan hampir 5% dari total laba. Bukan sekadar luka kecil—ini lebih mirip pendarahan yang kalau tidak dihentikan bisa bikin lemas total.
“Dampaknya bisa ke mana-mana: ROA dan ROE menurun, skor tata kelola jeblok, dan OJK bisa memberi ‘catatan merah’. Bisa jadi nilai rapor RGEC (Risk Profile, Good Corporate Governance, Earnings, dan Capital) langsung turun,” jelasnya.
Yang paling ia khawatirkan adalah dampak reputasional. “BRI itu andalan UMKM, tulang punggung rakyat kecil. Kalau kepercayaan masyarakat luntur gara-gara kasus kayak begini, bisa-bisa mereka lebih percaya simpan duit di celengan ayam ketimbang di bank,” celetuk Amin.
Lebih jauh, Amin mempertanyakan efektivitas pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Apa laporan GCG dan pemeriksaan OJK selama ini hanya formalitas? Ini proyek teknologi, bukan kredit. Jadi wajar kalau pendekatan pengawasannya harus beda. Jangan-jangan selama ini OJK cuma lihat angka, bukan lubang-lubang jebakan di baliknya,” kritiknya.
Sebagai solusi, Amin mendesak OJK segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penerapan GCG dan manajemen risiko operasional di BRI. Ia juga meminta OJK memperkuat sinergi dengan KPK agar penanganan kasus tidak hanya menyentuh permukaan.
“Kalau kita masih ingin rakyat percaya sama bank BUMN, ya harus ada pembenahan serius. Bukan cuma ganti orang, tapi juga benahi sistemnya. Jangan sampai masyarakat berpikir, yang berubah cuma seragam, tapi bobroknya tetap,” pungkas Amin.
Dengan nilai proyek sebesar Rp 2,1 triliun dan kerugian yang mencapai sepertiganya, skandal ini bukan hanya menampar wajah BRI, tapi juga menjadi ujian besar bagi integritas sektor keuangan nasional. Kita tunggu, apakah tindakan tegas akan benar-benar hadir—atau hanya sebatas pernyataan demi meredam panasnya suasana.
(Anton)