SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat telah menangani dua Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang dicabut izinnya hingga Juli 2025, yakni BPR Dwi Cahaya Nusa Perkasa dan BPRS Gebu Prima. Keduanya resmi ditutup lantaran pemegang saham dan pengurus tidak mampu melakukan langkah penyehatan.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin, mendorong penguatan tata kelola dan manajemen BPR agar kejadian serupa tidak terus berulang.
“Sejak 2005, sudah ada 143 bank yang dilikuidasi, mayoritas adalah BPR. Ini karena lemahnya tata kelola, minimnya pengendalian internal, dan kurangnya kompetensi SDM,” kata Puteri melalui pernyataan resminya, Kamis (31/7).
Puteri menegaskan, BPR memegang peran penting dalam mendorong pembiayaan pelaku UMKM, terutama di wilayah pedesaan dan daerah tertinggal. Karena itu, penguatan kelembagaan dan transformasi model usaha BPR menjadi hal yang sangat mendesak.
Puteri mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), yang memberi peluang transformasi usaha bagi BPR, termasuk dalam aktivitas valuta asing, transfer dana, pengalihan piutang, hingga penawaran umum di bursa efek.
“BPR juga bisa mulai memanfaatkan teknologi informasi (IT) dalam menjalankan kegiatan usahanya,” tambah Puteri.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa pihaknya bersama OJK tengah mengembangkan sistem IT untuk BPR. Anggaran sebesar Rp160 miliar telah disiapkan untuk pengembangan awal.
“Kami akan lakukan test case pada satu atau dua BPR dalam 1–2 bulan ke depan. Jika berhasil, bisa langsung diperluas ke 100 BPR,” kata Purbaya dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Senin (28/7).
Langkah ini dinilai penting guna memperkuat transparansi, efisiensi, dan mitigasi risiko di sektor BPR yang selama ini masih bergantung pada sistem manual.
Puteri juga mengingatkan pelaku usaha jasa keuangan untuk siap menghadapi tren baru seperti Kecerdasan Artifisial (AI). Menurutnya, AI dapat membantu menganalisis data, memproyeksikan kondisi ekonomi, hingga memperkuat sistem pengawasan internal.
Namun, di sisi lain, adopsi teknologi ini menimbulkan tantangan baru.
“AI membawa risiko manajemen yang kompleks, seperti keamanan data, kejahatan siber, ketergantungan pada pihak ketiga, hingga tantangan kompetensi SDM,” ungkap Puteri.
Karena itu, ia menekankan perlunya regulasi dan pengawasan yang adaptif agar pemanfaatan AI di sektor keuangan tetap aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Kondisi perbankan mikro nasional, khususnya BPR, menghadapi tantangan serius. Penutupan demi penutupan harus menjadi alarm bahwa sektor ini butuh pembenahan menyeluruh. Transformasi kelembagaan, penguatan digitalisasi, dan kesiapan menghadapi era AI menjadi tiga kunci utama agar BPR dapat kembali menjadi garda depan akses pembiayaan rakyat kecil.
(Anton)