SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Di tengah era digital, drone, dan satelit yang bisa ngintip sampai dapur tetangga, ternyata masih ada daerah di Indonesia yang bingung nentuin batas wilayahnya sendiri. Iya, masih kayak anak kos ribut nyari siapa yang jatah mandi duluan, padahal masalahnya peta wilayah. Dan inilah yang bikin Komite I DPD RI ngumpul bareng para gubernur dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Gorontalo, Rabu (14/5), buat bahas RUU Kabupaten/Kota yang udah lama butuh “facelift”.
Dalam rapat dengar pendapat umum itu, para gubernur menyuarakan keresahan yang udah basi tapi belum juga kelar: dari dasar hukum pembentukan daerah yang kuno, hari jadi yang kadang bikin bingung mau tiup lilin tanggal berapa, sampai masalah klasik – batas wilayah yang gak jelas. Bukan cuma nggak jelas, kadang malah bikin daerah sebelahan saling claim kayak mantan rebutan playlist Spotify.
Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam, bilang kalau banyak undang-undang soal kabupaten/kota itu masih hasil karya zaman UUDS 1950. Zaman belum ada YouTube, belum ada Google Maps, apalagi GPS.
“DPR RI menggunakan hak inisiatif menyempurnakan seluruh undang-undang tentang provinsi, kabupaten dan kota eksisting dengan undang-undang yang baru,” kata Andi, yang untungnya sadar kalau masa depan nggak bisa dituntun pakai aturan masa lalu.
Masalah paling pedas datang dari Sulawesi Tenggara. Gubernur Andi Sumangerukka mengeluh soal empat kabupaten di provinsinya – Kolaka, Konawe, Muna, dan Buton – yang masih pakai aturan pembentukan dari UU Nomor 29 Tahun 1959. Ya, kamu nggak salah baca, 1959. Bayangin pakai aturan dari zaman kaset pita buat ngatur kota yang sekarang anak mudanya udah main TikTok.
“Peta wilayah belum ada penegasan batas indikatif. Kami berharap dalam penyusunan RUU agar dicantumkan peta wilayah pada lampiran dan disertakan koordinat cakupan wilayah,” curhat Gubernur Andi, mungkin sambil berharap ini bukan masuk kuping kiri keluar telinga kanan seperti biasa.
Komite I sih janji mau tampung semua masukan tadi, dikompilasi, terus dimasukkan ke Daftar Inventarisasi Masalah alias DIM buat 10 RUU Kabupaten/Kota di tiga provinsi itu. Semoga aja DIM-nya bukan singkatan dari “Dijadikan Impian Menahun”, tapi beneran jadi bahan bakar revisi undang-undang yang selama ini lebih cocok jadi artefak sejarah ketimbang dasar hukum modern.
Jadi, kalau kamu pikir konflik daerah itu soal ekonomi, budaya, atau politik, kadang ya cuma gara-gara peta yang belum ada garisnya. Makanya, mari kita doakan revisi ini nggak nyangkut di tumpukan rapat yang cuma jadi bahan konten IG story: “Rapat dimulai, semoga lancar ✨”.
(Anton)