SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, menjelaskan latar belakang munculnya beleid tentang Standar Isi Siaran (SIS) dalam draf RUU Penyiaran, yang belakangan ini menjadi polemik, khususnya mengenai larangan siaran Jurnalistik Investigasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 50(B) ayat 2 Poin C. Menurut Hasanuddin, pasal tersebut hadir sebagai respon atas saran untuk pengawasan lebih ketat oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu, misalnya ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, maka sebaiknya ada sedikit penyeimbang. Bagaimana materinya? Ya diatur dalam aturan KPI,” ujar TB Hasanuddin kepada wartawan usai Rapat Paripurna DPR RI ke-16 di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Kang TB, sapaan akrabnya, melanjutkan bahwa produk penyiaran diawasi langsung oleh KPI. Oleh karena itu, ia menilai saran tersebut perlu dimuat dalam draf RUU Penyiaran. “KPI itu khusus untuk penyiaran, tetapi produk jurnalis yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya itu ke Dewan Pers. Saya kira ya dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers,” kata Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Meskipun demikian, TB Hasanuddin pribadi tidak sepakat dengan adanya pembatasan jurnalistik seperti yang tertuang dalam draf Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. “Saya sendiri setuju tidak usah ada pembatasan. Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar beberapa baik positif dan negatifnya, dari hasil investigasi,” ujar Kang TB.
Ia menambahkan bahwa meskipun kebebasan pers harus dijaga, tetap perlu ada kehati-hatian karena produk jurnalistik ditujukan untuk kepentingan rakyat. “Saya kira ada benarnya juga sih. Tapi, tentu dalam kebebasan itu kita juga ada kehati-hatian untuk kepentingan masyarakat,” tuturnya.
Hasanuddin juga mengungkapkan bahwa revisi UU Penyiaran menghadirkan berbagai pendapat pro dan kontra di Komisi I DPR RI. “Ada yang pro dan kontra dan nanti itu finally akan kita bahas dan akan kita diskusi di Baleg (Badan Legislasi DPR RI),” ungkapnya.
Lebih lanjut, TB Hasanuddin menegaskan bahwa pihaknya akan menampung semua masukan terkait polemik revisi UU Penyiaran. “Ya kita akan tampung semua (masukan) dan kemudian kita akan selesaikan nanti di dalam pembahasan antara Baleg dan komisi,” pungkasnya.
Hasanuddin juga menyinggung mengenai tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang menjadi sorotan masyarakat sipil dan insan pers. Menurutnya, KPI seharusnya khusus menangani sengketa penyiaran, sedangkan produk tulisan yang bermasalah diselesaikan oleh Dewan Pers.
“Sengketa jurnalistik penyiaran itu diatur dalam Pasal 42 Ayat 2. Draf beleid itu memberi wewenang KPI sesuai aturan undang-undang. Ada pula Pasal 51 huruf E yang mengatur bahwa sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan,” jelas Hasanuddin.
Melalui pernyataan ini, TB Hasanuddin mengajak semua pihak untuk memberikan masukan yang konstruktif guna menghasilkan regulasi penyiaran yang adil dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
(Anton)