SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Berdasarkan hasil Rapat Pleno Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) pada Jumat (23/7/2021) lalu, disepakati sikap Dewan Guru Besar memutuskan adanya kecacatan pada pembentukan PP 75/2021.
Ketua DGB UI Prof Harkristuti Harkrisnowo menyatakan, sebanyak 41 anggota Dewan Guru Besar yang menyetujui adanya kecacatan pembuatan PP 75/2021.
Salah satu kecacatan dalam PP 75/2021, menurut Guru Besar Fisip UI yang juga Anggota DGB UI Prof Sudarsono terdapat dalam pasal 41 ayat (5). Ia menyayangkan ketidaktelitian dalam penyusunan Statuta UI.
Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021: “Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi berhak mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor kepala, dan guru besar, berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki”.
“Apabila Pasal ini dimaksudkan sebagai pelimpahan kewenangan dari Menteri kepada Rektor dalam mengangkat pejabat fungsional UI, tentu ini sangat bagus dan diapresiasi. Karena hal ini mungkin yang pertama kalinya Rektor PTN BH mendapat pelimpahan kewenangan seperti ini,” kata Sudarsono dalam keterangannya, Selasa (27/7/2021).
Menurut dia, rumusan pasalnya sangat bermasalah, khususnya terkait dengan frasa ‘mengangkat dan/atau memutuskan’, yang dinilainya mengandung kelemahan mendasar dari sudut pandang hukum administrasi.
Bila Pasal 41 ayat (5) itu dimaksudkan untuk mengatur kewenangan Rektor terkait promosi pejabat fungsional UI, maka paket pengaturannya adalah juga harus termasuk demosi, bahkan mestinya juga mutasi dan pemberhentian.
Frasa ‘mengangkat’ dalam Pasal 41 ayat (5) tentu hanya terkait dengan promosi. Pertanyaannya, di mana Pasal yang mengatur tentang demosi?
“Apakah kata ‘memutuskan’ itu yang dimaksud sebagai kewenangan demosi? Atau mungkin ‘memutuskan’ itu dimaksudkan sebagai pemberhentian? Jelas, rumusan ini sangat membingungkan,” katanya.
Memang, tindakan Rektor sebagai pejabat administrasi, saat melakukan promosi pejabat fungsional UI dengan cara ‘mengangkat’, pastilah dibarengi dengan tindakan ‘memutuskan’, dengan produk hukum berupa ‘surat keputusan’, yang memiliki kapasitas beschikking, bukan regelling.
Kalau frasa ‘mengangkat dan memutuskan’, masih dapat dimengerti tindakan hukumnya, yaitu saat Rektor akan melakukan promosi, misalnya seorang dosen dari jabatan Lektor Kepala menjadi Guru Besar.
Sebaliknya, frasa ‘mengangkat atau memutuskan’ itu rumusan yang sangat bermasalah.
“Saya kira Rektor UI juga akan bingung membayangkan seperti apa bentuk tindakan hukum ‘mengangkat atau memutuskan’ itu? Kalau kedua kata itu dipisahpun, antara ‘mengangkat’ dengan ‘memutuskan’, juga sangat bermasalah, lucu, dan tidak masuk akal. Inilah contoh nyata betapa PP 75/2021 disusun dengan cara yang tidak cermat,” katan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri ini.
Masalah lain yang sangat serius dalam Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021, lanjutnya, adalah tidak adanya pengaturan tentang demosi.
“Menjadi kewenangan siapa demosi itu dalam PP 75/2021 tidak jelas. Bila kelak timbul sengketa demosi, misalnya antara seorang dosen dengan pimpinan Departemen, Fakultas atau pimpinan UI, kemudian dibawa ke PTUN, pertanyaannya: hakim TUN, dan para pihak yang berperkara akan bekerja berdasarkan pasal mana?” tanyanya.
Mantan Sekretaris Jenderal DPD RI ini sangat menyayangkan para perancang Statuta UI tidak bekerja dengan cermat, sehingga menimbulkan cacat materiil PP 75/2021. (wwa)