SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Dunia tengah menghadapi fenomena iklim paling mengejutkan sepanjang sejarah. Gurun Sahara, simbol kekeringan dan panas ekstrem di Afrika Utara, kini perlahan mulai berubah jadi wilayah basah.
Penelitian terbaru menunjukkan curah hujan di Sahara bisa melonjak hingga 75% pada paruh kedua abad ke-21.
Para ilmuwan menyebut perubahan ini sebagai “alarm keras bagi planet Bumi”, karena menandakan pergeseran ekstrem sistem iklim global yang dapat mengguncang ekosistem di seluruh dunia.
Selama ribuan tahun, Sahara dikenal sebagai kuburan panas berdebu — tempat di mana hujan hampir tak pernah turun.
Namun kini, menurut studi yang dipublikasikan di Eureka Alert, wilayah tersebut akan mengalami peningkatan curah hujan drastis, dari rata-rata 7,5 cm menjadi lebih dari 13 cm per tahun.
“Kita sedang menyaksikan planet ini bereaksi balik. Perubahan pola hujan di Sahara bisa mengubah kehidupan miliaran manusia, baik di Afrika maupun di luar benua,” kata Thierry Ndetatsin Taguela, peneliti iklim dan penulis utama studi tersebut, dikutip Selasa (28/10/2025).
Dampak Domino: Dari Hujan ke Kekacauan Ekologi
Taguela dan timnya menjalankan 40 model iklim global untuk memprediksi perubahan di Afrika antara 2050 hingga 2099.
Hasilnya: Sahara bukan satu-satunya yang terdampak. Hampir seluruh benua akan mengalami anomali cuaca besar-besaran.
- Afrika Utara (termasuk Sahara): curah hujan melonjak hingga 75%
- Afrika Tenggara: naik 25%
- Afrika Selatan-Tengah: meningkat 17%
- Afrika Barat Daya: justru mengering hingga 5%
“Bayangkan wilayah yang selama ini tak pernah mengenal banjir, tiba-tiba digenangi air. Ini bukan sekadar perubahan cuaca — ini perubahan wajah Bumi,” tegas Taguela.
Ancaman Baru: Banjir Gurun, Migrasi Massal, dan Krisis Pangan
Para ahli memperingatkan, meningkatnya curah hujan di Sahara tidak selalu berarti hal baik.
Justru, perubahan mendadak pada ekosistem kering dapat memicu banjir besar, tanah longsor, ledakan populasi serangga, bahkan migrasi massal manusia dan hewan.
“Afrika bisa jadi episentrum bencana iklim global berikutnya,” kata Taguela.
Ia menambahkan, “Jika tren ini berlanjut, gurun bisa berubah menjadi rawa — dan wilayah subur bisa lenyap di bawah air.”
Bumi Tak Lagi Sama
Ilmuwan menyebut fenomena ini sebagai “pergeseran keseimbangan atmosfer”.
Pemanasan global ekstrem menyebabkan udara lembab bergerak ke utara, membawa hujan ke wilayah yang selama ribuan tahun kering total.
Namun efeknya bisa berantai: wilayah lain yang tadinya subur bisa kehilangan curah hujan — membuat ketidakseimbangan besar antara kekeringan dan banjir di berbagai belahan dunia.
“Sebagian besar model sepakat Afrika akan lebih basah, tapi tidak ada jaminan itu kabar baik,” ujar Taguela.
“Bumi sedang mengubah dirinya sendiri — dan kita belum siap menghadapi konsekuensinya.”
Sahara, Simbol Akhir dari Dunia yang Berubah
Kini, para ilmuwan menyebut Gurun Sahara sebagai “cermin masa depan planet ini”.
Sebuah pengingat bahwa iklim tidak stabil, dan yang mustahil bisa menjadi kenyataan — bahkan gurun terbesar di dunia bisa tiba-tiba “hidup” kembali.
Yang jadi pertanyaan menakutkan berikutnya:
Jika Sahara bisa berubah, wilayah mana yang akan hancur selanjutnya?
(Anton)




















































