SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) menjadi momentum penting untuk mengembalikan peran BUMN sebagai penyelenggara negara, sebagaimana amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Hal itu disampaikan Rieke dalam Forum Legislasi bertema “Pengesahan RUU BUMN Harapkan Percepat Kemajuan Ekonomi Nasional” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI, menghadirkan juga Ahmad Labib (Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Golkar) dan Pangi Syarwi Chaniago (Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting).
Dalam paparannya, Rieke menjelaskan bahwa revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN merupakan langkah penting untuk memperkuat landasan hukum BUMN dalam menjalankan fungsinya sebagai instrumen negara di bidang ekonomi. Ia menyoroti masuknya Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi ke dalam konsideran hukum menimbang RUU BUMN sebagai kemajuan fundamental.
“Selama ini konsideran hukum sering diabaikan. Alhamdulillah, dalam revisi ini akhirnya kita masukkan TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 sebagai dasar hukum menimbang. Ini penting karena menjadi landasan konstitusional bagi revisi UU BUMN,” ujar Rieke di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Menurut Rieke, TAP MPR tersebut memperkuat prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa perekonomian nasional harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Rieke menilai, salah satu perubahan paling krusial dalam revisi UU BUMN adalah penghapusan pasal yang menyatakan bahwa direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
“Sebelum direvisi, BUMN bukan dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Padahal, dari sisi konstitusional, BUMN berada dalam rezim keuangan negara. Karena itu, mereka harus tunduk pada sistem pengawasan negara,” tegas Rieke.
Dengan perubahan tersebut, lanjutnya, pejabat di lingkungan BUMN kini wajib diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dapat diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bila terdapat dugaan pelanggaran hukum.
Rieke juga mengaitkan revisi ini dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012/016/019/PUU-IV/2006, yang menegaskan konsep “constitutional importance” — yakni keberadaan lembaga-lembaga negara yang meski tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945, namun memiliki peran penting dan berpengaruh terhadap ketatanegaraan Indonesia.
“BUMN memiliki sifat constitutional importance karena merupakan instrumen negara untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945,” tegas Rieke.
Ia berharap dengan revisi UU BUMN ini, arah pengelolaan BUMN akan kembali sejalan dengan mandat konstitusi, yakni memperkuat peran negara dalam mengatur dan mengelola cabang-cabang produksi penting bagi hajat hidup orang banyak demi kesejahteraan rakyat.
(Anton)