SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Pembahasan revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 dipastikan akan menjadi salah satu agenda penting DPR RI. Regulasi ini diharapkan mampu memberikan solusi komprehensif bagi jutaan aparatur sipil negara (ASN), khususnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang selama ini menghadapi persoalan status dan ketimpangan kesejahteraan dibanding Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Hal itu mengemuka dalam Forum Legislatif bertajuk “Revisi RUU ASN 2025: Peluang Alih Status PPPK Jadi PNS Kian Terbuka?” yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
DPR Dorong Solusi Komprehensif untuk PPPK
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Reni Astuti, menegaskan bahwa revisi UU ASN harus menjadi momentum pembenahan sistem kepegawaian nasional yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan ASN.
“Banyak sekali pegawai berstatus PPPK yang menantikan kepastian seperti apa kebijakan pemerintah ke depan. Apakah PPPK ini bisa menjadi PNS, dan bagaimana perbedaan hak karier serta kesejahteraan antara keduanya,” ujar Reni.
Ia menyoroti masih adanya kesenjangan tunjangan kinerja dan hak finansial antara PNS dan PPPK, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Menurutnya, situasi ini ironis karena keduanya sama-sama mengabdi untuk bangsa dan negara.
“Saya mendengar ada guru yang sudah lama mengajar, dari honorer menjadi PPPK, tetapi tetap mendapatkan tunjangan yang tidak sama dengan PNS. Ini harus menjadi perhatian serius,” tambahnya.
Reni menjelaskan, pembahasan revisi UU ASN akan dilakukan oleh Komisi II DPR RI bersama kementerian dan lembaga terkait. Ia berharap proses penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang ini dapat melibatkan akademisi, tenaga pendidik, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menghasilkan kebijakan yang inklusif.
“Kami ingin revisi ini benar-benar memberikan solusi terbaik bagi seluruh ASN, baik PPPK maupun PNS, dengan tetap memperhitungkan kemampuan fiskal pemerintah pusat dan daerah,” tegasnya.
Pengamat: Waspadai Sentralisasi Kewenangan dan “PHP” bagi PPPK
Sementara itu, pengamat politik dari Citra Institute, Efriza, mengingatkan bahwa revisi UU ASN 2025 tidak boleh sekadar menjanjikan alih status PPPK menjadi PNS tanpa solusi nyata atas ketimpangan struktural yang ada.
Menurutnya, sejak UU Nomor 5 Tahun 2014 diberlakukan, ASN memang terbagi dua, yakni PNS dan PPPK. Namun dalam praktiknya, PPPK masih dipandang sebagai pegawai kelas dua.
“PNS dianggap sebagai pegawai inti birokrasi dengan hak pensiun, jenjang karier struktural, dan status tetap. Sementara PPPK hanya pegawai kontrak tanpa hak pensiun dan tanpa jalur karier yang jelas,” jelasnya.
Efriza menambahkan, meski UU Nomor 20 Tahun 2023 telah mempertegas kedudukan ASN terdiri dari PNS dan PPPK, implementasinya masih jauh dari prinsip kesetaraan dan meritokrasi.
“Revisi RUU ASN 2025 diharapkan bisa menjadi instrumen hukum krusial untuk menciptakan keadilan dan sistem kepegawaian nasional yang benar-benar berbasis merit,” tegasnya.
Ia juga menyoroti rencana penarikan kewenangan pengangkatan, mutasi, dan pemberhentian pejabat ASN ke pemerintah pusat yang berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Kalau ASN ditarik di bawah presiden, itu sama saja seperti simalakama. Di daerah bermasalah karena politik lokal, tapi di pusat bisa lebih berbahaya karena kembali ke arah sentralisasi,” ujarnya.
Sinkronisasi Regulasi dan Penguatan Data ASN
Efriza menilai, sebelum revisi UU ASN diberlakukan, pemerintah perlu memastikan basis data nasional ASN yang valid dan terintegrasi agar sistem kepegawaian dan anggaran dapat dikelola secara efisien dan adil.
“Tanpa data ASN yang akurat, pemerintah akan kesulitan mengatur tunjangan, pensiun, maupun pengembangan karier. Jangan sampai revisi ini justru menjadi PHP — pemberi harapan palsu bagi tenaga PPPK,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa apabila DPR dan pemerintah menyepakati penarikan kewenangan ASN ke bawah presiden, maka perlu dilakukan sinkronisasi dengan UU Pemerintahan Daerah untuk menghindari tumpang tindih dan pelanggaran prinsip otonomi daerah.
“Kalau tidak ada sinkronisasi dengan UU Pemerintahan Daerah, implementasinya akan tumpang tindih. Revisi ini harus menyentuh akar persoalan, bukan sekadar kosmetik politik,” pungkasnya.
Harapan Baru bagi Reformasi ASN
Baik DPR maupun pengamat sepakat bahwa revisi UU ASN 2025 menjadi momentum penting untuk memperkuat reformasi birokrasi, menghapus diskriminasi jabatan, dan memastikan kesejahteraan seluruh aparatur negara.
Reni Astuti menutup dengan pesan tegas, “Yang menjadi prinsip adalah kesejahteraan ASN harus terus mendapat perhatian. Ini bukan hanya soal status, tetapi juga tentang penghargaan terhadap pengabdian mereka.”
(Anton)