SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – PT Pertamina (Persero) resmi mencetak sejarah baru di dunia penerbangan Indonesia. Melalui subholding-nya, PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), perusahaan energi pelat merah ini sukses menghasilkan dan menyalurkan bahan bakar pesawat (avtur) yang dicampur minyak jelantah atau dikenal sebagai Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Langkah ini menandai awal era baru penerbangan ramah lingkungan di Indonesia, sekaligus menempatkan Pertamina sejajar dengan perusahaan energi besar dunia seperti Neste (Finlandia), BP (Inggris), dan TotalEnergies (Prancis) yang lebih dulu mengembangkan bahan bakar aviasi berkelanjutan.
Uji Terbang Komersial Perdana: Jakarta–Bali–Jakarta
SAF Pertamina untuk pertama kalinya digunakan dalam penerbangan komersial maskapai Pelita Air dengan rute Jakarta–Bali–Jakarta.
Bahan bakar ini diproduksi di Kilang Pertamina RU IV Cilacap, menggunakan minyak jelantah (used cooking oil) sebagai bahan baku utama.
Pada tahap awal, komposisi SAF mengandung sekitar 2–3 persen minyak jelantah yang dicampur dengan avtur konvensional. Meski masih dalam skala uji, langkah ini menjadi terobosan pertama di Asia Tenggara.
“Kami ingin menjadikan penerbangan Indonesia lebih hijau dan berkelanjutan, sejalan dengan target net zero emission 2060,” ujar perwakilan Pertamina.
Standar Dunia dan Teknologi Lokal
SAF buatan Pertamina telah memenuhi standar internasional seperti ASTM D1655 dan Defstan 91-091, serta telah memperoleh sertifikasi keberlanjutan ISCC CORSIA (International Sustainability & Carbon Certification).
Produksi ini menggunakan teknologi co-processing dengan katalis “Merah Putih” — inovasi hasil kolaborasi antara Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Teknologi ini memungkinkan minyak jelantah diolah bersama bahan bakar fosil di kilang yang sama tanpa perlu membangun pabrik baru, menjadikannya lebih efisien dan ekonomis.
Ramah Lingkungan, Kurangi Emisi hingga 84 Persen
Hasil uji internal menunjukkan SAF Pertamina dapat mengurangi emisi karbon hingga 84 persen dibandingkan avtur fosil.
Selain mengurangi polusi, program ini juga mendorong ekonomi sirkular karena memanfaatkan limbah minyak goreng rumah tangga dan restoran.
“Minyak jelantah yang dulu jadi limbah berbahaya, kini bisa jadi energi bersih untuk langit Indonesia,” ujar pihak Pertamina.
Produksi Perdana dan Rencana Ekspansi
Produksi awal dilakukan di Cilacap dengan volume 32 kiloliter SAF, yang dikirim ke Bandara Soekarno-Hatta untuk penerbangan Pelita Air.
Pertamina menargetkan perluasan produksi ke Kilang Dumai dan Balongan, serta menjajaki peluang ekspor SAF ke negara tetangga.
Kapasitas produksi kilang Cilacap diproyeksikan dapat mencapai 1.400 kiloliter per hari saat beroperasi penuh.
Bagaimana Indonesia Dibanding Negara Lain?
Inisiatif Pertamina menempatkan Indonesia sebagai pionir SAF di Asia Tenggara, sekaligus menyusul langkah negara maju yang telah lebih dulu mengadopsi bahan bakar hijau di sektor penerbangan:
Negara / Perusahaan | Jenis SAF & Bahan Baku | Penggunaan & Skala | Keterangan |
---|---|---|---|
Finlandia (Neste) | Minyak jelantah, lemak hewani | Produksi 1,5 juta ton/tahun; diekspor ke Eropa & AS | Pemimpin global SAF |
Amerika Serikat (United Airlines & World Energy) | Limbah pertanian & minyak bekas | Digunakan di penerbangan komersial reguler sejak 2021 | Didorong target net zero 2050 |
Prancis (TotalEnergies) | Minyak nabati & jelantah | SAF 1% wajib di setiap penerbangan domestik | Didukung regulasi Uni Eropa |
Singapura (Neste Singapore Refinery) | Used cooking oil & animal fat | Kapasitas 1 juta ton/tahun, terbesar di Asia | Ekspor ke Jepang & Eropa |
Jepang (ANA, JAL) | Limbah industri & mikroalga | SAF 0,1% dari total kebutuhan avtur nasional | Pilot project 2023–2025 |
Indonesia (Pertamina) | Minyak jelantah (UCO) | Campuran 2–3% untuk penerbangan Pelita Air | Pertama di Asia Tenggara, potensi besar UCO domestik |
Dari perbandingan ini, Indonesia memang baru memulai dibanding negara maju, namun memiliki keunggulan bahan baku — minyak jelantah di Indonesia melimpah, dengan potensi mencapai lebih dari 1 juta kiloliter per tahun.
Jika potensi ini dimanfaatkan, Indonesia bisa menjadi produsen SAF terbesar di Asia Tenggara, sekaligus menekan impor avtur dan membuka peluang ekspor bahan bakar hijau.
Langkah Strategis Menuju Langit Hijau
Program SAF ini menjadi bagian dari strategi Pertamina menuju energi berkelanjutan dan transisi energi nasional.
Selain mendukung komitmen net zero emission 2060, inovasi ini juga memperkuat posisi Indonesia sebagai negara produsen energi hijau baru di kawasan.
“Pertamina tidak hanya berinovasi, tetapi juga membuktikan bahwa energi bersih bisa lahir dari limbah rumah tangga,” tutup keterangan resmi perusahaan.
(Anton)