SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai tahun 2029 sebagai bentuk turbulensi konstitusi.
Dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk “Bagaimana Nasib DPRD Setelah Putusan MK Pisahkan Jadwal Pemilu”, Kamis (10/7/2025) di Gedung DPR RI, Rifqi menyampaikan keprihatinannya terhadap substansi putusan MK yang dinilainya berpotensi menabrak prinsip dasar konstitusi, khususnya Pasal 22E Ayat 1 dan 2 UUD 1945.
“Putusan MK ini menghadirkan potensi pelanggaran terhadap norma dasar konstitusi. Amar putusannya berisiko mengangkangi Pasal 22E yang menyatakan pemilu dilakukan lima tahun sekali, termasuk untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD,” ujarnya.
Menurut Rifqi, konsekuensi dari putusan tersebut adalah lahirnya dua model pemilu yang berbeda: nasional dan lokal, dengan jeda waktu hingga 2–2,5 tahun. Hal ini berpotensi mengubah siklus pemilu menjadi tidak seragam dan tidak lima tahunan lagi sebagaimana diperintahkan konstitusi.
“Kalau pemilu nasional dilaksanakan tahun 2029 dan pemilu lokal dilaksanakan tahun 2031, maka jelas ada pemisahan siklus. Ini bertentangan dengan roh Pasal 22E,” tegasnya.
Senada dengan Rifqi, pengamat hukum tata negara, Prof. Margarito Kamis, juga mengkritik keras putusan MK. Ia menilai bahwa Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya.
“Menafsirkan konstitusi itu bukan ranah MK, tapi MPR RI. MK tugasnya hanya menguji norma, bukan menciptakan norma baru atau menafsirkan pasal-pasal UUD semaunya,” ujar Margarito.
Ia menambahkan, apabila MK dibiarkan menafsirkan konstitusi secara sepihak, maka hal itu sama saja dengan merampas kewenangan lembaga negara lain, seperti MPR, DPR, dan DPD.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2024 sendiri mengatur pemisahan waktu antara pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (DPRD, Gubernur, Bupati/Walikota) mulai 2029, yang hingga kini masih menuai polemik dari berbagai kalangan.
(Anton)