SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Dalam Forum Legislasi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bersama Biro Pemberitaan Parlemen, muncul berbagai sorotan tajam dan solusi konstruktif terkait rencana revisi Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Dua narasumber utama hadir: Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq dan Pengamat Haji, Ade Marfuddin.
Perjalanan Panjang Menuju Revisi UU
Forum yang berlangsung pada Selasa (11/6) di Pressroom DPR RI ini membahas urgensi perubahan regulasi demi meningkatkan kualitas pelayanan jemaah haji Indonesia, mulai dari antrean panjang, biaya haji, hingga peran BPKH.
Maman Imanulhaq, yang juga merupakan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, menegaskan bahwa UU Haji yang berlaku saat ini belum menjawab tantangan riil di lapangan. Menurutnya, perubahan UU ini penting agar tidak ada lagi “manajemen ganda” dan agar pengelolaan dana haji lebih transparan dan bermanfaat untuk jemaah.
“Selama ini, pengelolaan dana haji dilakukan oleh BPKH, tapi pelaksanaannya oleh Kemenag. Ini menimbulkan ketidakefisienan. Harus ada satu kesatuan sistem,” tegas Maman.
Antrean Panjang dan Ketimpangan Daerah
Lebih lanjut, Maman menyoroti ketimpangan masa tunggu haji di berbagai daerah. Ada provinsi yang masa tunggunya mencapai 47 tahun, seperti di Sulawesi Selatan, sementara di provinsi lain hanya 11 tahun. Ini dinilai tidak adil.
“Kami ingin ada sistem proporsionalitas. Jangan hanya mengandalkan siapa yang lebih dulu daftar, tapi juga lihat aspek keadilan,” ujarnya.
Maman juga mendorong revisi UU agar memberi ruang kepada jemaah lansia, disabilitas, dan pendamping agar mendapat prioritas.
Penegasan Peran BPKH
Isu lain yang mencuat adalah seputar Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Dalam diskusi, Maman menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji. Ia menuntut agar BPKH tidak hanya fokus pada investasi, tetapi juga memastikan nilai manfaat kembali ke jemaah.
“BPKH tidak boleh hanya jadi lembaga yang berorientasi untung. Mereka harus hadir untuk kemaslahatan jemaah,” tegasnya.
Ia juga meminta agar revisi UU nanti memperjelas wewenang dan tanggung jawab antar lembaga, termasuk bagaimana pengawasan terhadap BPKH dilakukan oleh DPR secara optimal.
Pemerintah: Revisi UU Jadi Momentum Perbaikan Total
Sementara itu, Pengamat Haji Ade Marfuddin menyambut baik rencana revisi UU ini. Menurutnya, Kementerian Agama mendukung langkah DPR dan melihat momentum ini sebagai peluang memperbaiki tata kelola haji secara menyeluruh.
“Kami dari pemerintah melihat ini sebagai upaya bersama untuk memperbaiki sistem. Revisi UU akan memperkuat sinergi antar lembaga,” ujar Ade.
Ade juga menyoroti tantangan haji ke depan, seperti kuota yang terbatas dari pemerintah Arab Saudi dan perubahan kebijakan digitalisasi layanan haji.
“Kita harus adaptif terhadap sistem baru di Arab Saudi yang semakin digital dan cepat. Ini harus direspon dengan peningkatan SDM dan teknologi,” tambahnya.
Sorotan terhadap Kuota dan Biaya Haji
Baik Maman maupun Ade sepakat bahwa isu kuota haji menjadi sangat krusial. Maman mengusulkan adanya diplomasi haji yang lebih intens agar Indonesia bisa mendapat tambahan kuota. Ia juga menyebut perlunya transparansi dalam penetapan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih).
Ade Marfuddin mengingatkan, bahwa biaya haji harus tetap rasional dan tidak membebani jemaah, meski ada dinamika fluktuasi harga dan kebijakan luar negeri.
“Bipih harus adil, transparan, dan proporsional. Pemerintah berusaha menyeimbangkan antara kemampuan jemaah dan keberlangsungan dana haji,” katanya.
Penutup: Menanti Undang-Undang yang Lebih Responsif
Diskusi yang berlangsung hangat dan padat ini menggarisbawahi pentingnya revisi UU Haji dan Umrah agar lebih adaptif, berkeadilan, dan efisien. Diharapkan, pembaruan regulasi bisa menjawab berbagai tantangan penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang.
Sebagai negara dengan jemaah haji terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menjadi contoh dalam tata kelola haji yang profesional, transparan, dan berorientasi pada pelayanan terbaik bagi umat.
(Anton)