SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Tahukah kamu? Meski dikenal sebagai salah satu eksportir batu nisan terbesar ke negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang, Indonesia ternyata masih mengimpor batu nisan dari luar negeri. Negara asal impor paling dominan? China.
Tren Impor yang Naik-Turun
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai impor batu nisan (kode HS 68029900) sempat mengalami fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir:
- 2019: US$ 1,93 juta
- 2020: US$ 2,35 juta
- 2021: Menurun
- 2022: Titik terendah, hanya US$ 948 ribu
- 2024: Naik kembali menjadi US$ 1,59 juta (sekitar Rp 26,74 miliar)
Dari angka itu, China menjadi pemasok terbesar dengan nilai US$ 747 ribu, disusul Hong Kong (US$ 582 ribu), lalu India dan Brasil dengan kontribusi lebih kecil.
Kenapa Masih Impor, Padahal Kita Bisa Produksi Sendiri?
Meski Indonesia punya sumber daya alam melimpah untuk industri batu nisan (seperti granit, marmer, dan batu pasir), ternyata ada beberapa alasan kenapa kita masih bergantung pada impor:
1. Spesifikasi Beda, Selera Pasar Beragam
- Batu nisan dari China, misalnya, banyak menggunakan granit hitam pekat atau “Black Nero”, yang terkenal karena:
- Tekstur keras dan padat
- Daya tahan tinggi terhadap cuaca
- Tampilan elegan dan modern
Sebaliknya, batu lokal umumnya punya warna yang lebih beragam seperti abu-abu, merah muda, atau bahkan rustic-style dari batu pasir. Tapi jenis ini belum tentu cocok untuk semua konsumen.
“Beberapa konsumen mencari jenis batu tertentu yang tidak tersedia di Indonesia. Dari segi desain dan warna, granit China bisa jadi lebih sesuai dengan preferensi mereka.”
2. Harga dan Efisiensi Produksi
Industri batu nisan di China dikenal sangat efisien dan masif. Hasilnya? Harga bisa jauh lebih murah dibandingkan produksi lokal. Untuk pengrajin atau pelaku usaha dalam negeri yang butuh bahan dalam jumlah besar, impor dari China bisa jadi opsi ekonomis.
Batu Nisan Bukan Sekadar Batu
Selain sebagai produk industri, batu nisan juga erat kaitannya dengan budaya dan tradisi, baik dari sisi desain, material, maupun simbolisme. Batu dari China kadang hadir dengan ukiran yang khas dan estetika budaya Tionghoa, yang dianggap lebih artistik dan “bermakna” oleh sebagian kalangan.
Meskipun Indonesia mampu memproduksi dan mengekspor batu nisan ke berbagai negara, kebutuhan akan variasi, harga, dan spesifikasi tertentu membuat impor tetap diperlukan.
Jadi, ini bukan soal kekurangan kapasitas produksi, tapi soal kebutuhan pasar yang dinamis dan beragam. Dunia usaha harus fleksibel, dan konsumen berhak memilih produk terbaik sesuai preferensi dan anggaran mereka.
(Anton)