SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Said Abdullah menegaskan tak ada norma peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakan utang.
“Saat ini posisi utang pemerintah sebesar 39,57 persen dari produk domestik bruto (PDB), artinya masih jauh di bawah ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu maksimal sebesar 60 persen dari PDB,” ungkap Said kepada wartawan di Jakarta, Sabtu.
Selain itu bila dibandingkan dengan negara-negara yang sepadan dengan Indonesia, kata dia, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB jauh lebih rendah, sebut saja India yang mencapai 89,26 persen PDB, Malaysia 63,3 persen, Filipina 60,4 persen, Afrika Selatan 69,9 persen, Thailand 59,6 persen, dan Vietnam 39,6 persen.
Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara maju, rasio utang pemerintah Indonesia justru jauh lebih rendah, seperti Tiongkok yang sebesar 71,5 persen, kawasan Eropa 95,6 persen, Finlandia 72,4 persen, Perancis 113 persen, Jerman 69,3 persen, Inggris 97,4 persen, Amerika Serikat 137 persen, Jepang 262 persen, Singapura 160 persen.
Kebijakan utang dari sejumlah negara tersebut ditempuh secara agresif sebagai pilihan untuk memperbesar ruang fiskal agar porsi belanja produktif pemerintah kian besar untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini telah menjadi praktik umum diberbagai negara.
Said menambahkan, Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings dan Standard & Poor’s (S&P) pun memberikan penilaian terhadap utang pemerintah pada posisi BBB dengan outlook stable. Penilaian lebih baik diberikan oleh lembaga Rating & Investment (R&I) dan Japan Credit Rating Agency (JCR) di level BBB+ outlook stable, sementara Moody’s memberikan penilaian Baa2 outlook stable.
“Penilaian berbagai lembaga kredibel internasional ini menjelaskan bahwa utang pemerintah Indonesia berada di level moderat, sehingga kebijakan utang pemerintah tidak ugal-ugalan seperti prasangka buruk oposisi dan kalangan yang mendistorsi informasi ke rakyat,” ucap dia.
Menurut dia, pemerintah telah menjalankan kebijakan mitigasi risiko utang sebagai wujud tata kelola pemerintahan yang baik. Berlapis lapis pengamanan risiko utang telah dijalankan, antara lain dengan mengedepankan pembiayaan bersumber dari dalam negeri untuk mendorong pembiayaan lebih mandiri dan mengurangi risiko nilai tukar.
Terlihat kepemilikan asing terhadap utang pemerintah terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57 persen menjadi 19,05 persen pada akhir tahun 2021 dan per akhir Desember 2022 mencapai 14,36 persen.
Said menilai penurunan kepemilikan asing dalam utang pemerintah berdampak pada menurunnya risiko nilai tukar rupiah. Pada tahun 2017, risiko nilai tukar tercatat sebesar 41 persen, tahun 2019 turun ke level 37,9 persen, tahun 2020 turun ke level 33,5 persen, tahun 2021 terus turun ke level 30 persen, serta tahun 2022 ada di bawah 29 persen.
Pengamanan risiko utang lainnya yang telah dijalankan pemerintah yakni membuat perencanaan tata kelola kebijakan utang pada 2023-2026 dengan acuan besaran utang tingkat bunga variabel terhadap total outstanding maksimal 20 persen, serta utang jatuh tempo kurang dari satu tahun terhadap total outstanding maksimal 12,5 persen.
Acuan lainnya yakni rata-rata jatuh tempo (Average Time to Maturity/ATM) minimum tujuh tahun, besaran pembayaran bunga utang terhadap PDB maksimal 3 persen, dan mematok tingkat utang terhadap PDB pada kisaran 40 persen.
“Mengacu pada batasan itu, keseluruhan postur utang pemerintah belum menyentuh “alarm” dari berbagai indikator tersebut. Semisal ATM masih di level sekitar 8 tahun, bunga utang terkelola dengan baik di kisaran 6 persen sampai 7 persen dengan jumlah bunga utang di level 2 persen PDB,” ungkap Said.
(ANT/EK)