SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Penyakit ginjal kronik saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia dengan angka prevalensi sekitar 10% pada orang dewasa. Penyakit ginjal kronik yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan dan diet rendah protein akan berakhir dengan gagal ginjal. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan pada umumnya memerlukan pengobatan pengganti ginjal, yaitu dialisis atau transplantasi ginjal.
Penjelasan ini disampaikan oleh Ketua Tim Transplantasi Ginjal RS Siloam ASRI, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Prof. Dr. dr. Endang Susalit, S.PD-KGH, FINASIM, pada sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (12/1-2023).
“Dapat dikatakan bahwa transplantasi ginjal merupakan terapi gagal ginjal paling ideal, karena bisa mengatasi permasalahan akibat penurunan fungsi ginjal. Tidak seperti dialisis yang hanya dapat mengatasi sebagian masalah saja,” ungkap dokter Endang Susalit.
Dijelaskannya lebih lanjut, manfaat transplantasi dalam meningkatkan harapan hidup, bisa dilihat pada pasien dialistis yang disebabkan oleh diabetes melitus, yang dinyatakan memiliki harapan hidup 8 tahun, namun jika dilakukan transplantasi ginjal pada kelompok umur yang sama, harapan hidupnya meningkat menjadi 25 tahun.
Endang Susalit, mengatakan, transplantasi ginjal mengalami berbagai kemajuan yang pesat dalam bidang medis dan bedah. Saat ini di Indonesia sudah menerapkan metode pemeriksaan persiapan operasi dan obat imunosupresan terbaru sehingga mengurangi angka rejeksi.
“Teknik operasi terbaru yang sama dengan di luar negeri pun sudah diterapkan, sehingga keberhasilan harapan hidup donor dan pasien tidak berbeda dengan hasil di luar negeri. Contohnya, jika dahulu teknik pengambilan ginjal donor dilakukan dengan cara nefrektomi terbuka, sekarang dilakukan dengan metode laparoskopi yang sangat bermanfaat bagi pedonor,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Dr. dr. Nur Rasyid, Sp.U (K), Ketua ASRI Urology Center (AUC), penyakit ginjal kronik (GGK) merupakan salah satu dari penyakit yang menyerap dana besar pada pembiayaan kesehatan pemerintah melalui BPJS, sehingga menjadi penyakit yang diutamakan penyelesaiannya oleh Kemenkes RI.
Dirinya menerangkan bahwa, jika dibandingkan dengan hemodialisis kronik, tansplantasi ginjal memiliki keunggulan dalam hal memperpanjang angka harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup serta efisiensi total pembiayaan jangka panjang. Transplantasi ginjal sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1977, namun baru berkembang pesat pada tahun 2011 dan sampai saat ini telah dilakukan lebih dari 1.200 kasus (jumlah yang sangat kecil dibandingkan populasi dan penderita GGK).
“Awalnya, prosedur dilakukan dengan memasukkan alat laparoskopi melalui rongga perut (peritoneum dimana terdapat usus dan organ-organ lain), kemudian membuka ruangan belakang tempat ginjal berada. Sejak tahun 2018 dikembangkan teknik baru, laparoskopi langsung ke lokasi ginjal (retroperitoneal), hal ini membutuhkan ketrampilan yang lebih baik dari operator, namun memberikan keuntungan yaitu komplikasi yang lebih rendah bagi pedonor,” jelasnya.
Di Rumah Sakit Siloam ASRI tempat dirinya berpraktek, operasi ginjal donor dilakukan 100 % dengan laparoskopi, awalnya melalui prosedur transperitoneal dengan keuntungan lapangan pandangan operasi yang lebih luas, dan secara teknis lebih mudah dibandingkan retroperitoneal.
Pengembangan laparoskopi donor nefrektomi melalui retroperitoneal dimulai dengan membuat ruangan baru di area ginjal, yang bisa memberikan akses langsung ke pembluh darah ginjal tanpa melalui rongga perut dan memindahkan usus besar sehingga menurunkan risiko komplikasi.
“Pada tahun 2020, Tim Transplantasi RS Siloam ASRI sudah mulai mengembangkan teknik laparoskopi retroneal. Sampai saat ini telah dilakukan operasi laparoskopi donor transperitoneal sebanyak 78 pasien dengan 1 komplikasi, retroperitoneal sebanyak 137 pasien tanpa adanya komplikasi. Dalam proses operasi transplantasi ginjal pada resipien (penerima), secara fundamental yang harus dikuasai operator adalah penyambungan pembuluh darah (anastomosis vaskuler) dari donor ke resipien,” ungkapnya.
dokter Nur Rasyd, juga mengemukakan bahwa pada pemeriksaan CT angiografi untuk melihat pembuluh darah ginjal donor seringkali ditemukan calon donor yang memiliki pembuluh darah arteri ginjal lebih dari satu atau yang disebut dengan Multiple Renal Artery (MRA).
Pada awal pengembangan transplantasi, calon donor seperti tidak ideal, sehingga kadang diminta mencari donor lain. Namun dengan pengembangan kemampuan operasi (microsurgery) dari Tim Resipien RS Siloam ASRI yang mampu menyatukan beberapa pembuluh darah menjadi satu bagian, hal ini memberikan kesempatan lebih besar pada ketersediaan donor dan memberikan keberhasilan yang sama baiknya dengan donor arteri tunggal.
Prosedur persiapan transplantasi yang mulus atau seamless memerlukan adanya kerjasama yang baik antara koordinator transplan, tim advokasi (melaksanakan tugas KTN) yang baik, dokter spesialis nefrologi yang memastikan tingkat kecocokan organ donor dan resipien, dokter spesialis yang memastikan toleransi operasi pasien cukup untuk melaksanakan transplantasi.
“Pada pelaksanaanya, tim bedah urologi untuk donor dengan laparoskopi dan untuk resipien dengan teknik bedah mikro sehingga menurunkan morbiditas dan meningkatkan keberhasilan transplanstasi ginjal di RS Siloam ASRI hingga saat ini,” tandasnya.
Sedangkan Wakil Presiden Direktur Siloam Hospital Group, Caroline Riady menyatakan, sebagai rumah sakit swasta yang aktif melakukan transplantasi ginjal di Indonesia, berharap dapat mengembangkan kapasitas RS Siloam dengan menggunakan teknik inovatif, keahlian klinis dan riset, serta pendekatan multidisiplin untuk mendapatkan hasil klinis yang berkualitas tinggi.
Hingga saat ini rumah sakitnya telah melakukan 200 operasi transplantasi ginjal sejak tahun 2017. Sejumlah 41% pasien berasal dari Pulau Jawa dan 59% berasal dari luar Pulau Jawa. “Kini RS Siloam ASRI telah mendapatkan pengakuan dari Kemenkes RI untuk melakukan transplantasi ginjal di Indonesia demi pemulihan kehidupan pasien gagal ginjal,” jelas Caroline Ryadi. (Ahmad Djunaedi).