Konstitusi Sebagai Pedoman Utama
Wapres Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa konstitusi merupakan hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan yang harus menjaga nilai-nilai hukum, keadilan, kebebasan, dan kesetaraan dalam berdemokrasi. “Konstitusi adalah hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan untuk menjaga nilai-nilai hukum, keadilan, kebebasan, dan kesetaraan dalam berdemokrasi,” ujar Wapres.
Ia menambahkan bahwa Hari Konstitusi yang diperingati setiap tahun merupakan momen untuk menghormati para pendiri bangsa yang telah merumuskan dasar-dasar konstitusi. Dalam perjalanan bangsa, Wapres mengingatkan pentingnya menjaga ketahanan berkonstitusi serta memastikan konstitusi tetap responsif terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang berkembang.
“Konstitusi harus mampu menjawab tantangan masa depan, menjadi jembatan antara cita-cita dan realitas serta jembatan antara harapan dan kenyataan,” ucap Wapres. Ia juga menekankan perlunya inovasi keadilan dan pembukaan ruang partisipasi yang lebih luas bagi seluruh elemen masyarakat.
Seminar Nasional: Refleksi Ketatanegaraan
Ketua MPR RI, Dr. Bambang Soesatyo, SE, SH, MBA, menjadi pembicara utama dalam seminar nasional yang bertema “Refleksi Ketatanegaraan: Quo Vadis Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia?” di Kompleks Parlemen RI. Dalam sambutannya, Bambang Soesatyo mengajak hadirin untuk menengok sejarah konstitusi di Indonesia dan mengingat kembali pengesahan UUD 1945 oleh PPKI 79 tahun lalu.
Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa UUD 1945 dirumuskan dalam kondisi darurat dengan keterbatasan sumber daya namun tetap mencerminkan cita-cita bangsa untuk negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. “UUD 1945 dalam narasi Pembukaan-nya merumuskan cita-cita negara yang visioner, jauh melampaui zamannya,” kata Bambang.
Ia melanjutkan bahwa UUD 1945 awalnya dimaksudkan sebagai UUD sementara dan mengalami perubahan melalui UUD RIS dan UUDS sebelum diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Amendemen konstitusi yang dilakukan pada masa reformasi bertujuan untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan yang dinilai tidak konsisten.
Wacana Amendemen UUD 1945
Ketua MPR juga membahas wacana amendemen UUD 1945 yang muncul setelah 26 tahun reformasi. Beberapa opsi amendemen yang diidentifikasi meliputi:
1. Amendemen terbatas terkait kewenangan MPR dalam membentuk PPHN.
2. Penyempurnaan atau pengkajian menyeluruh terhadap UUD hasil amendemen sebelumnya.
3. Kembali ke UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
4. Kembali ke UUD 1945 yang asli dengan penambahan adendum.
5. Tidak diperlukan amendemen jika UUD 1945 yang berlaku masih relevan.
Bambang Soesatyo menekankan bahwa penting untuk meninjau kembali konstitusi agar dapat mengatasi kebuntuan ketatanegaraan dan potensi persoalan di masa depan. Ia menambahkan bahwa MPR memiliki kewenangan konstitusional tertinggi dalam hal mengubah dan menetapkan UUD serta memberikan putusan akhir pada proses pemakzulan presiden/wakil presiden.
“MPR sebagai lembaga pembentuk konstitusi harus dapat menjelaskan maksud dari tafsiran konstitusi dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi,” ujar Bambang Soesatyo.
Penutup Seminar
Bambang Soesatyo menutup sambutannya dengan harapan agar seminar ini dapat menghasilkan ide dan pemikiran konstruktif dalam memaknai kembali konstitusi sebagai sumber tertib hukum fundamental negara serta memaknai peran dan kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan. “Semoga seminar ini akan terlahir ide, gagasan, dan pemikiran yang konstruktif,” tutupnya.
Dengan peringatan Hari Konstitusi dan seminar ini, diharapkan akan terjalin pemahaman yang lebih baik mengenai konstitusi serta peran strategis MPR dalam menjaga dan menegakkan hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
(ANTON)