SUARAINDONEWS.COM, Afrika Selatan — Hari itu ribuan buruh tambang batubara Coalbrook turun ke kedalaman hampir 200 meter. Seperti biasa, mereka menggali batubara yang menjadi nadi energi negeri itu. Namun, tak ada yang tahu, sore itu akan jadi lembaran kelam dalam sejarah pertambangan dunia.
Detik-detik Menjelang Bencana
Sejak pagi, para pekerja sebenarnya sudah merasa ada yang tidak beres. Udara di lorong tambang makin berat, dinding batu mengeluarkan suara gemuruh. Beberapa buruh mencoba naik ke permukaan, khawatir ada runtuhan.
Sayangnya, bos tambang tak mengizinkan. Mereka takut produksi terganggu dan keuntungan berkurang. Apalagi mayoritas buruh saat itu adalah warga kulit hitam yang hidup di bawah sistem apartheid—mereka nyaris tak punya suara untuk menolak.
Akhirnya, meski cemas, para buruh kembali masuk ke lorong tambang.
Runtuhnya Perut Bumi
Sekitar pukul 16.30, malapetaka benar-benar datang. Dinding tambang runtuh, disusul longsoran besar. Getaran tanah terasa hingga ke permukaan. Ratusan buruh panik mencari jalan keluar.
Namun, ketika sebagian berhasil mencapai permukaan, mereka justru dihadang atasan. Perintahnya jelas: turun kembali. Jika membangkang, ancamannya penjara. Demi mempertahankan pekerjaan, ratusan orang pun kembali ke bawah tanah.
Tak sampai dua jam kemudian, bencana kedua terjadi. Lorong tambang ambruk lagi. Sebanyak 437 buruh terjebak di kedalaman 182 meter.
Evakuasi yang Mustahil
Tim penyelamat segera melakukan pengeboran dari atas, berharap masih ada rongga udara. Namun hasilnya nihil. Investigasi menunjukkan, para buruh bukan sekadar terjebak, melainkan benar-benar terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan.
Gas metana dan karbon dioksida beracun membuat mustahil untuk mengangkat jasad mereka. Hingga kini, ratusan tubuh itu tetap terkubur di perut bumi Coalbrook.
Keserakahan yang Membunuh
Belakangan, penyelidikan mengungkap bahwa tambang sebenarnya sudah rapuh dan seharusnya ditutup. Tapi karena harga batubara sedang naik, perusahaan nekat melanjutkan operasi tanpa memperbaiki struktur maupun menambah alat keselamatan.
Ironisnya, pengadilan kala itu hanya menyebut tragedi ini sebagai “kecelakaan kerja”. Tak ada kompensasi, tak ada pertanggungjawaban. Ratusan keluarga buruh kehilangan tulang punggung tanpa keadilan.
(Anton)