SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Azis Subekti, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Bencana tidak menunggu rapat selesai. Air datang tanpa undangan, tanah bergerak tanpa permisi. Yang diuji bukan hanya ketahanan alam, tetapi juga ketahanan kelembagaan kita dalam merespons dengan cepat dan tepat.
Arahan Presiden Prabowo Subianto dalam rapat paripurna kabinet hari ini (15/12/2025) patut kita dukung dengan kepala dingin, dada yang lapang, dan kerja yang gesit. Negara harus hadir, situasi dipantau, dan penanganan segera masuk ke fase rehabilitasi serta rekonstruksi melalui pembentukan satgas atau badan khusus. Ini bukan sekadar pernyataan politik, melainkan arah kerja yang konkret.
Saya terbiasa berpikir seperti mesin. Dalam logika itu, tanggap darurat adalah rem, sementara rehabilitasi dan rekonstruksi adalah gigi persneling. Ketika rem sudah diinjak dan kopling siap dilepas, tetapi gigi tidak segera dinaikkan, kendaraan pemulihan akan tersendat. Gas ada, suara mesin ada, tetapi tidak terjadi akselerasi. Akibatnya, korban menunggu terlalu lama. Kita tidak boleh mengulang pola lama: riuh di awal, senyap di penyelesaian.
Karena itu, satgas atau badan rehabilitasi dan rekonstruksi harus dipahami sebagai mesin pemulihan, bukan sekadar penambahan stempel, bukan tambahan lembaga yang justru membuat kerja makin berbelit. Satgas ini harus bekerja dengan prinsip satu komando, satu data, satu target, dan satu ritme kerja, dari pusat hingga daerah.
Kebocoran terbesar dalam penanganan pascabencana bukan hanya soal dana. Yang paling sering bocor adalah waktu. Data berputar-putar, kewenangan saling tarik-menarik, pengadaan bertele-tele, laporan menumpuk tetapi dampak di lapangan minim. Jika kebocoran waktu ini dibiarkan, rehabilitasi akan berhenti pada rapat koordinasi yang ramai di meja, tetapi sepi di lapangan.
Saya mendukung penuh arahan Presiden untuk memastikan kerja dan eksekusi penanganan yang cepat dan jelas, dengan beberapa prinsip utama:
- Satu pintu koordinasi lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Bukan “semua bekerja”, tetapi tidak ada yang memimpin. Kepemimpinan harus jelas, sekaligus melibatkan tokoh masyarakat dan ulama untuk membangkitkan semangat warga.
- Satu basis data terbuka tentang kerusakan dan kebutuhan, yang bisa dicek dan diawasi bersama. Angka tidak boleh berubah-ubah seperti cuaca.
- Target waktu dan standar kerja yang tegas: kapan hunian sementara selesai, kapan hunian tetap dibangun, kapan sekolah dan layanan kesehatan kembali berfungsi.
- Dampak ke warga sebagai ukuran utama, bukan jumlah rapat atau tebalnya dokumen.
- Build back better: membangun kembali dengan desain yang lebih tangguh, bukan mengulang pola lama lalu menunggu bencana yang sama terulang.
Presiden telah memberi arah: cepat, terkendali, dan segera masuk ke fase pemulihan dengan kelembagaan yang lebih solid dan kepemimpinan lapangan yang kompak. Kini pertanyaannya jelas, terutama bagi daerah: beranikah kita mengubah kebiasaan kerja? Beranikah menutup kebocoran waktu, koordinasi, dan tanggung jawab?
Jika satgas atau badan ini dibentuk dengan benar, pemulihan tidak akan menjadi “proyek”, melainkan kerja negara yang konkret, terukur, dan benar-benar dirasakan warga.
Tantangannya tidak ringan. Saat ini masih banyak wilayah, terutama daerah pedalaman, yang belum sepenuhnya terjangkau. Berdasarkan kondisi lapangan, beberapa kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi antara lain:
- Distribusi air bersih
- Bantuan logistik sembako dan kebutuhan harian (pakaian, selimut, kelambu)
- Pengaktifan sanitasi darurat (toilet umum portabel)
- Pemulihan tata kota dan lingkungan (pengangkatan lumpur, normalisasi drainase) agar jalur logistik kembali lancar
- Penempatan tenaga kesehatan dan ketersediaan obat-obatan di setiap desa
- Pemulihan aliran listrik secara merata hingga tingkat kecamatan
- Pemulihan jaringan telekomunikasi
- Pembangunan tempat tinggal sementara minimal dua titik per desa, lengkap dengan dapur umum
- Ketersediaan bahan bakar untuk distribusi logistik, yang saat ini sangat langka. Di beberapa wilayah, termasuk sekitar Aceh, harga BBM eceran sudah mencapai lima kali lipat harga normal, bahkan pengisian kendaraan roda empat dibatasi hingga Rp200 ribu per kendaraan.
Kita dukung Presiden untuk melakukan hal yang paling dibutuhkan saat ini: eksekusi yang rapi dan cepat. Inilah ujian apakah negara benar-benar hadir, bukan hanya dalam pidato, tetapi dalam kerja nyata yang menyentuh kebutuhan warga.
(Anton)




















































