SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak di Tahun 1990 banyak kemajuan yang telah ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak. Dalam menerapkan Konvensi Hak Anak, negara peserta konvensi punya kewajiban untuk melaksanakan ketentuan dan aturan-aturannya dalam kebijakan, program dan tata laksana pemerintahannya.
Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keppres No.36 tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Konsekwensi atas telah diratifikasinya Konvensi Hak Anak tersebut, maka Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dan atau memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak yang diakui dalam KHA yang secara umum memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap anak, agar anak dapat merasakan seluruh hak-haknya, sehingga terjauh dari tindakan kekerasan dan pengabaian.
Adapun 10 Hak Anak tersebut yakni Hak untuk Bermain, Pendidikan, Perlindungan, Identitas, Kebangsaan, Makanan, Akses Kesehatan, Rekreasi, Kesamaan dan Peran dalam Pembangunan.
Dalam rangka mewujudkan komitmen ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia menjamin terpenuhinya Hak Anak, memandang perlu dibangunnya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai upaya mendukung Jakarta menjadi Kota Layak Anak melalui Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 dan disempurnakan dengan Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak RPTRA). Persoalannya sudahkah Jakarta memiliki RPTRA yang memenuhi standar mutu?
Ruang Publik Terpadu Ramah Anak atau juga dikenal dengan singkatan RPTRA adalah konsep ruang publik berupa ruang terbuka hijau atau taman yang dilengkapi dengan berbagai permainan menarik, pengawasan CCTV, dan ruangan-ruangan yang melayani kepentingan komuniti yang ada di sekitar RPTRA tersebut, seperti ruang perpustakaan, PKK Mart, ruang laktasi, refleksologi, botanical garden, pendidikan untuk kesehatan, kids mart, ruang belajar seni dan budaya, dan lainnya. RPTRA dibangun tidak di posisi strategis, namun berada di tengah pemukiman warga, terutama lapisan bawah dan padat penduduk, sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh warga di sekitar.
RPTRA, yang diinisiasi oleh Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Ditargetkan pada tahun 2017, sebanyak 300 RPTRA telah terbangun di seluruh Jakarta. 200 RPTRA dibangun dengan menggunakan dana CSR dan 100 RPTRA dibangun menggunakan APBD (data terlampir, red). Oleh karenanya RPTRA tidak boleh disewakan atau dibisniskan.
Alih-alih, proses pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan RPTRA yang melibatkan masyarakat sekitar. Bahkan perawatan taman juga dilakukan oleh masyarakat di sekitar RPTRA dan dikoordinir oleh ibu-ibu PKK. Dengan harapan, RPTRA bisa ikut membantu Kota DKI Jakarta untuk bisa meraih status kota layak anak sekaligus menyediakan ruang terbuka hijau bagi publik. Sayangnya, masih banyak RPTRA yang secara diam-diam dimanfaatkan secara bisnis dan dikelola tidak secara tepat dan baik, ungkap Arie Arifin, selaku konsultan Playground bersertifikasi International saat di temui di bilangan Sarinah, Jakarta (18/1).
RPTRA bukan sekedar taman bermain semata, lanjut Arie ada pembangunan daya berpikir bagi anak-anak serta ada pembangunan karakter bangsa didalamnya. Oleh karenanya butuh kehadiran atau pendampingan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk membantu mengelola dan mengawasi RPTRA sebagai wadah non formal edukasi atau sekolah terbuka sesungguhnya bagi masyarakat.
Dengan demikian Pengelola RPTRA sebaiknya memiliki Kompetensi Psikolog Pendidik yang memadai. Apalagi RPTRA sebagai tempat Bermain, Bergembira sekaligus tempat Belajar harus dilengkapi dengan Taman Bermain atau Play Ground yang Berkarakter yang memiliki standar mutu. Sebuah Taman Bermain yang memenuhi ketentuan berbahan plastik yang tidak memuai, tidak luntur, tidak beracun atau anti toxin, tidak mudah pecah, tidak menyimpan bakteri, bergaransi, berstandar mutu internasional baik Europe dan Amerika.
Padahal DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara pernah diestimasikan idealnya memiliki hingga 700an RPTRA dengan asumsi dalam satu Kelurahan setidaknya ada dua hingga tiga RPTRA, agar memenuhi Kota Layak Anak sebenarnya, tegas Arie Arifin.
Nah, belajar dari Malaysia dan Singapura yang telah mengimplemetasikan kebijakan pentingnya Taman Bermain Anak yang membangun karakter bangsa, maka Indonesia (DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara) seharusnya menjadi pilot project nasional serta pioner bagi lahirnya regulasi nasional terkait pentingnya membangun karakter bangsa dengan memberikan akses sebesar-besarnya untuk melindungi anak-anak sesuai Konvensi Hak Anak PBB lewat Taman Bermain Anak Berkarakter dan Berstandar Mutu.
Minimum standar yakni Taman Bermain Anak Berkarakter dan Berstandar International di Kalijodo yang diinisiasi PT Landscape Indonesia, anggota International Play Equipment Manifacture Association (IPEMA), dimana staf dan manajemennya memiliki CPSI (Certified Playgrounds Safety Inspector), telah berstandar mutu ISO, ASTM, dan Tuv Nord. Sekaligus bergaransi asuransi Rp 3 Miliar per anak jika terjadi kecelakaan akibat kesalahan produk, dan garansi wahana 5 Tahun.
(tjo; foto dok