SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Polemik seputar bahaya asbes kembali memanas setelah hasil riset terbaru dari peneliti Universitas Indonesia (UI) dipaparkan dalam sebuah forum edukasi internasional. Fokus riset ini adalah soal konsentrasi debu fiber semen yang muncul setelah gempa bumi.
Dalam simulasi gempa dengan skenario penghancuran atap rumah berbahan fiber semen, kadar debu yang beterbangan ternyata masih jauh di bawah ambang batas bahaya.
Peneliti menemukan angka rata-rata hanya 0,016 cc, sementara batas aman menurut Kementerian Tenaga Kerja adalah 0,15 cc – atau sepuluh kali lebih tinggi.
“Artinya, walaupun terjadi gempa besar dan atap hancur, potensi bahayanya pada kesehatan sangat minim. Justru yang lebih berisiko adalah tertimpa material, bukan terpapar debu fiber semen,” jelas Prof Sjahrul, peneliti UI.
Para ahli menekankan pentingnya edukasi publik agar tidak keliru membedakan fiber (serat panjang) dengan partikulat (butiran kecil mirip pasir). Dalam kenyataan, debu dari atap fiber semen lebih sering berbentuk partikulat yang tidak berbahaya jika sesuai ambang batas.
Penjelasan biologi sederhana juga diberikan. Menurut pakar biologi Hanif, alveolus di paru-paru memiliki mekanisme alami melawan partikel asing. “Pada pH netral, partikel pendek mudah hancur dan keluar dari tubuh tanpa menimbulkan kerusakan serius,” ungkapnya.
Meski riset menenangkan, perdebatan hukum masih berlanjut. Saat ini, ada gugatan antara perusahaan dan lembaga konsumen terkait penggunaan istilah “asbes” dalam regulasi.
Pihak industri menilai ada kekeliruan karena produk yang dipasarkan sekarang adalah fiber semen, bukan lagi asbes murni yang berbahaya.
“Di semua dokumen resmi kami tidak lagi menyebut asbes, melainkan lembaran semen bergelombang atau fiber semen. Perubahan istilah ini penting agar tidak menimbulkan stigma,” kata Mr. Bernstein, ahli toksikologi.
Dalam skala global, sekitar 70 negara, mayoritas negara maju, sudah menghentikan penggunaan asbes. Namun, masih ada 150 negara termasuk Indonesia yang tetap mengandalkan fiber semen karena alasan daya tahan hingga 50 tahun serta harga yang lebih terjangkau.
“Ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga soal ekonomi dan akses masyarakat terhadap bahan bangunan yang murah,” tambah Bernstein.
Diskusi ini menegaskan perlunya edukasi publik soal penggunaan fiber semen. Riset yang terukur, standar pengawasan ketat, dan informasi transparan diharapkan bisa meredam kekhawatiran masyarakat. Namun, polemik hukum dan stigma kata “asbes” tetap jadi tantangan besar – baik di level nasional maupun global.
(Anton)