SUARAINDOEWS.COM, Jakarta — Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menempatkan ketahanan pangan sebagai salah satu fokus utama. Anggaran sebesar Rp164,4 triliun dialokasikan untuk berbagai program, mulai dari pembangunan lumbung pangan, subsidi pupuk, hingga penguatan cadangan beras pemerintah melalui Perum Bulog.
Hal itu menjadi sorotan dalam diskusi yang digelar Biro Pemberitaan DPR RI bersama Komisi IV DPR dan para pengamat, Kamis (21/8/2025), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, menegaskan bahwa peran Bulog sangat penting dalam menjaga stabilitas pangan nasional.
“Dari total anggaran Rp164,4 triliun, sekitar Rp22,7 triliun diarahkan untuk memperkuat stok dan stabilisasi harga beras. Bulog adalah ujung tombak ketahanan pangan,” ujar Panggah.
Ia menjelaskan, alokasi lain mencakup Rp33 triliun untuk pembangunan lumbung pangan dan cadangan pangan, serta Rp46,9 triliun untuk subsidi pupuk sebesar 9,62 juta ton.
Panggah juga menyoroti transisi kelembagaan Bulog yang sebelumnya berstatus BUMN menjadi lembaga pemerintah. Menurutnya, regulasi dalam RUU Pangan yang sedang dibahas harus memastikan Bulog mampu menjaga stok minimal 3,7 juta ton beras dan memberi harga gabah yang layak bagi petani.
Selain itu, ia menekankan pentingnya pemupukan yang tepat serta penyediaan bibit unggul, yang selama ini dinilai masih kurang mendapat perhatian. “Kalau bibitnya tidak baik, mustahil panen bisa optimal,” katanya.
Sementara itu, pengamat pertanian Khudori menilai RAPBN 2026 membawa hal baru dengan memasukkan Indeks Kesejahteraan Petani sebagai salah satu indikator pembangunan.
“Selama ini yang digunakan nilai tukar petani, yang sebenarnya tidak tepat untuk mengukur kesejahteraan. Sekarang pemerintah dan DPR sudah lebih realistis,” ujarnya.
Namun, Khudori menyoroti belum jelasnya definisi swasembada pangan yang menjadi target pemerintah.
“Apakah swasembada artinya semua kebutuhan pangan dipenuhi dari produksi dalam negeri? Atau cukup untuk komoditas tertentu seperti beras, jagung, kedelai, dan daging sapi? Sampai sekarang tidak pernah dijelaskan secara gamblang,” tegasnya.
Menurutnya, jika definisinya adalah 90 persen kebutuhan domestik dipenuhi dari produksi dalam negeri, maka sebenarnya beras sudah lama masuk kategori swasembada, karena impor rata-rata hanya sekitar 4 persen dalam 10–15 tahun terakhir.
Khudori juga menyoroti persoalan produktivitas pertanian yang stagnan dalam tujuh hingga delapan tahun terakhir. Menurutnya, hal itu hanya bisa ditingkatkan melalui inovasi dan teknologi baru, bukan sekadar memperluas lahan atau memberikan subsidi pupuk.
“Masalah lahan yang sudah sakit akibat eksploitasi Revolusi Hijau tidak pernah diakui sebagai problem besar. Padahal tanpa perbaikan kualitas lahan, mustahil produktivitas meningkat,” ujarnya.
Di sisi lain, stabilisasi harga pangan juga dipertanyakan. Meski Bulog mendapat dana Rp22,7 triliun untuk menyerap beras, jumlah tersebut dinilai masih jauh dari cukup.
“Kalau harga beras Rp14.500 per kilogram, dana itu hanya cukup untuk menyerap sekitar 1,5 juta ton beras. Padahal targetnya 3 juta ton. Artinya butuh dua kali lipat anggaran,” kata Khudori.
Ia juga menilai harga beras tetap bergejolak meski stok Bulog mencapai rekor tertinggi, yakni 4 juta ton. “Kalau stok besar tapi harga tetap naik, berarti ada masalah dalam mekanisme stabilisasi,” tambahnya.
Diskusi menyimpulkan bahwa RAPBN 2026 sudah memberikan ruang besar bagi ketahanan pangan, tetapi masih banyak pekerjaan rumah:
- Kejelasan definisi swasembada pangan agar target lebih terukur.
- Penguatan Bulog dengan dukungan regulasi dan pendanaan yang cukup.
- Perbaikan sistem pupuk dan bibit unggul untuk mendongkrak produktivitas.
- Stabilisasi harga pangan agar tidak membebani konsumen sekaligus tetap menguntungkan petani.
- Modernisasi pertanian untuk menarik generasi muda kembali ke sektor pangan.
(Anton)