SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menagih janji Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua DPR Setya Novanto untuk meletakkan jabatannya sesuai janji dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) 2014 lalu.Kedua pimpinan lembaga tinggi negara tersebut dianggap tidak menepati janjinya untuk mendukung revisi UU MD3 setelah tiga tahun menjabat periode 2014-2019.
“PDIP sudah maksimal memperjungkan itu agar kepemimpinan MPR/DPR sesuai dengan kesepakatan di KIH. Sesuai kesepakatan partai dengan suara terbanyak berhak memimpin MPR dan DPR,” tegas Eva dalam diskusi ‘Revisi UU MD3’ bersama pakar hukum tata negara Margarito Kamis, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Seperti diketahui revisi UU MD3 yang dilakukan oleh DPR periode 2009-2014 menjelang pemilu 2014 dalam anomali politik, sehingga tak lagi menempatkan partai dengan suara terbanyak menjadi Ketua MPR maupun Ketua DPR. Dalam koalisi akhirnya yang menjadi Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua DPR Setya Novanto. Dimana Golkar berada di urutan kedua suara terbanyak setelah PDIP, dan PAN di urutan ke-6.
Namun, kondisi itu diakui Eva Kusuma sebagai akibat proses rekrutmen kader partai yang buruk. Terutama untuk pencalegan di DPR. Sehingga kualitasnya memprihatinkan. “Banyak anggota yang sering bolos, kinerja buruk, dan habis bertanya langsung menghilang,” ujarnya.
Terkait hal tersebut, Eva kondisi DPR/MPR yang sekarang ini bukan akibat UU MD 3 (MPR,DPR,DPD dan DPRD) melainkan akibat proses kaderisasi dan rekrutmen caleg yang buruk. Tapi, kalau pun mau merevisi UU MD3 agar kepemimpinan MPR/DPR RI berdasarkan suara terbanyak, maka perlu perbaikan etika dan mempertegas kepemimpinan MPR/DPR RI agar terwujud politik yang berkeadaban, proporsionalitas dan rasionalitas.
Sedangkan Margarito mengatakan soal penambahan kursi dan jumlah kursi itu bukan isu konstitusional yang mendasar. Karenanya dia menyarankan sebaiknya diisi saja semuanya kursi pimpinan.
“Kocok lagi pemenang Pemilu jadi ketua dan yang lainnya jadi angggota. Jadi pasal 84 UUD MD3 itu, pimpinan MPR terdiri dari satu ketua dan misalnya ada 9 anggota. Itu tidak apa-apa karena itu tidak bertentangan dengan konstitusi, ” ujarnya.
Ditambahkan Margarito konsekwensinya penambahan kursi itu menjadi tambah panjang saja di dalam meja ruang sidang. Karena akan menimbulkan banyak persona, meski tidak tak ada pencerminan dari semangat kebersamaan, gotong-royong yang bagus,
“Saya kira itu yang perlu dipikirkan dan siapa tahu itu juga menjadi kendala. Kenapa isu ini sering timbul-tenggelam, sudah sepakat hilang lagi. Mungkin harus dicari jalan keluar dan bisa saja ya sudah semuanya dikasih kursi pimpinan agar ada semangat gotong-royong karena ini bukan isu konstitusi, ini soal rasionalitas politik saja, kebiasaan dalam politik saja, ” katanya.
Margarito Kamis juga mengakui dalam rasionalitas demokrasi yang konstitusional, seharusnya partai dengan suara terbanyak yang menjadi pimpinan MPR/DPR. “PDIP mesti menyiapkan hal itu untuk materi revisi UU MD3 nanti,” katanya.(Bams/EK)