SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Dalam beberapa waktu terakhir isu tentang beras menjadi perhatian bersama, terlebih saat Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri, seiring panen raya serta keputusan untuk melakukan impor beras, hingga keinginan untuk mendapatkan harga beras wajar di Indonesia.
Pada akhirnya, harga beras wajar inilah yang kemudian menjadi hal layak untuk dibahas bersama.
Arti wajar di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah biasa sebagaimana adanya tanpa tambahan apapun. Atau menurut keadaan yang ada, sebagaimana mestinya. Sinonim kata wajar adalah alami, alamiah, biasa, bersahaja, galib, lazim, lumrah, natural, normal, prasaja, sederhana.
Lalu, apa yang dimaksudkan dengan harga beras wajar, seperti yang dimintakan Presiden Joko Widodo kepada Badan Pangan Nasional?
Jawaban gampangnya adalah harga beras itu tidak murah dan tidak mahal. Atau bisa juga disebut harga yang menuju ke keseimbangan baru. Harga yang tidak direkayasa kepentingan tertentu.
Pertanyaan kritisnya adalah mampukah bangsa ini menciptakan harga beras bebas dari kepentingan jika beras itu sendiri diposisikan sebagai komoditas politis dan strategis?
Jawaban inilah yang sebaiknya harus dipikirkan bersama. Sebab, selama posisi beras seperti saat ini, susah melahirkan harga beras yang wajar.
Adanya kemauan politik Presiden Jokowi untuk menciptakan harga beras wajar, tentu bukan keinginan yang muncul secara mendadak. Sebab, dalam beberapa bulan belakangan, harga beras di negeri ini mulai merangkak naik. Bahkan terkesan sulit bagi Pemerintah untuk mengendalikannya atau turun pada titik semula.
Berbagai upaya telah ditempuh, tapi harga beras di pasar tetap bertengger pada angka yang cukup tinggi. Padahal beras impor sudah digelontorkan ke pasar-pasar. Panen Raya padi juga sedang berlangsung. Artinya, beras di pasar cukup melimpah. Namun yang terjadi, mengapa harga beras tidak kunjung turun juga?
Orang-orang pun mulai mencari akar masalahnya. Apakah hal ini terjadi dikarenakan suasana menjelang hari hari besar keagamaan dan nasional seperti memasuki bulan Ramadan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri, sehingga secara psikologis pasar harga berbagai kebutuhan pokok cenderung naik?
Padahal, dengan sedang berlangsungnya panen raya di berbagai daerah sentra produksi dan dikucurkannya beras impor ke pasar, mestinya beras di pasar cukup melimpah. Bukankah hukum ekonomi, bila produksi berlimpah, harga cenderung akan turun? Tapi, mengapa dalam situasi sekarang kondisi yang demikian tidak terjadi?
Kalau Presiden Jokowi meminta agar harga beras berada pada posisi wajar, maka yang penting dibincangkan adalah pada harga berapa yang disebut wajar itu? Kemudian, bagaimana bangsa ini menetapkan harga beras yang wajar untuk dapat memuaskan semua pihak, baik petani, pedagang dan masyarakat?
Yang tak kalah menariknya untuk dicermati adalah apakah keputusan Pemerintah yang menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras sudah bisa dikatakan harga yang wajar? Beberapa perwakilan petani malah menuding kenaikan HPP Gabah dan Beras sekitar 19 persen dari HPP lama, dianggap belum cukup mampu menyejahterakan petani.
Gabah Petani
Beras memang bukan gabah. Tapi, semua orang tahu, sebelum menjadi beras, pasti hasil panen petani diperoleh dalam bentuk gabah.
Dalam fakta kehidupan, para petani umumnya belum memiliki kemampuan untuk mengolah gabah menjadi beras. Petani langsung menjual gabah kepada pengusaha penggilingan, bandar, atau tengkulak.
Mereka inikah yang mendapat nilai tambah ekonomi dari gabah menjadi beras. Petani sendiri hanya mampu menyaksikan kesemuanya itu.
Dengan demikian, salah besar kalau harga beras dinaikkan, maka petani akan mendapat untung. Sebab, para pemilik beras, bukan lagi petani, tapi para pengusaha penggilingan dan pedagang.
Di sisi lain, budaya lumbung kini semakin memudar dalam kehidupan petani. Jarang petani yang menyisihkan gabah mereka untuk disimpan dalam lumbung. Rata-rata petani, khususnya petani berlahan sempit, akan menjual seluruh hasil panenannya. Petani butuh uang tunai untuk membiayai seluruh kebutuhan kehidupannya.
Masalah akan muncul ketika musim paceklik tiba. Mengingat budaya lumbung sudah menghilang, otomatis para petani harus membeli beras guna menyambung nyawa kehidupan keluarganya.
Sebagai produsen, petani juga merangkap jadi konsumen. Berbeda ketika budaya lumbung masih tumbuh. Mereka dapat menggunakan simpanan gabah untuk memenuhi kebutuhan beras di saat musim paceklik.
Atas gambaran yang demikian, tentu semua sepakat harga beras perlu dikendalikan. Jangan biarkan mengambang tak terkendali. Fenomena betapa susahnya Pemerintah menurunkan harga beras yang terus meningkat, membuat kepada para pengambil kebijakan untuk menata ulang kembali kebijakan perberasan yang selama ini diterapkan.
Semua percaya Badan Pangan Nasional akan mampu mendefinisikan harga beras yang wajar sebagaimana diinginkan Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi memang meminta harga beras wajar, baik di tingkat petani, pedagang, maupun di masyarakat.
Hanya penting dicatat, harga beras yang wajar untuk petani, belum tentu wajar untuk pedagang. Apalagi wajar untuk konsumen. Hal ini bukan tugas yang dapat dijawab dengan ucapan “Simsalabim“ semata sebaliknya perlu kerja keras dan perjuangan yang penuh kesungguhan.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat. (ANT/RF)