SUARAINDONEWS.COM, Pangandaran-Olah TKP Perusakan Mungil Resto oleh penyidik dari Polda Jawa Barat (7 orang anggotanya, red) sempat di warnai kericuhan dan caci maki yang tidak patut kepada Tim Hukum LBH Pejuang Siliwangi Indonesia oleh massa yang diduga keras ‘massa bayaran’ Ikin Sodikin Cs, demikian diungkapkan Iman Permana, SH, Bidang Hukum DPP PS Indonesia Korwil Jawa Barat.
Seperti diketahui, lokasi yang berada di Kampung Turis, Pesisir Pantai Barat Pangandaran tersebut, nampaknya sudah dikerumuni massa. Padahal hari itu masih dalam suasana PSBB yang seharusnya masyarakat bisa menjaga jarak untuk menghindari penyebaran virus Covid-19 (3/6/20). Kericuhan terjadi saat utusan LBH Pejuang Siliwangi Indonesia masuk ke Pengandaran Café Mungil. Setelah menunjukan Surat Kuasa dari pemilik café, terlihat utusan LBH PS Indonesia berbincang dengan Ikin Sodikin, Terlapor Pengerusakan Café Mungil (Nomor LP LP/B/556/V/2020/JABAR, tertanggal 4 Mei 2020, red).
Sejurus kemudian teriakan dan makian terdengar yang datangnya dari massa untuk menghalau Tim Kuasa Hukum PS Indonesia. Bahkan saat Iman Permana, SH, yang merupakan Bidang Hukum DPP PS Korwil Jawa Barat hendak memasuki ke café mungil Ikin Sodikin melarangnya dengan alasan bahwa dia sebagai pemilik café tidak mengijinkan tim hukum masuk ke Cafe Mungil tersebut.
Lantas Iman Permana, SH mempertanyakan bukti kepemilikan yang diakui Ikin Sodikin, dan yang bersangkutan malah menjawab dengan nada tinggi bahwa dengan cara apapun dia tidak akan mengijinkan Tim LBH PS Indonesia memasuki Café Mungil. Dan serentak massa yang berjumlah lebih dari 50 orang itu memaki dan melontarkan kata-kata tidak patut (penghinaan terhadap profesi advokat, red). Melihat suasana yang semakin tidak kondusif, Kanit 1 Penyidik dari Polda Jabar yang memimpin jalannya Olah TKP pun meminta Tim LBH PS Indonesia untuk meninggalkan sementara lokasi café tersebut.
Selanjutnya, menanggapi statement Ikin Sodikin yang dilansir media online Kabar Priangan Kamis, 4 Juni 2020 yang mengatakan bahwa bangunan café dan mobil Pajero yang dikuasainya itu merupakan jaminan dari hutang yang dimiliki oleh suami Ibu Siti Nurjanah sebagai Pemilik Café Mungil.
Iman menjelaskan bahwa Siti Nurjanah tidak ada kaitan hukum apapun tentang hutang piutang antara Setiadji dengan Ikin Sodikin. Apalagi Café Mungil tersebut sudah dimiliki Siti Nurjanah selama 5 tahun sebelum menikah dengan Setiadji Munawar yang memiliki urusan hutang piutang dengan Sodikin. Bahkan Iman menyebutkan Ikin Sodikin belum pernah melaporkan persoalan hutang piutangnya kepada pihak berwajib sehingga tidak ada dasar hukumnya Ikin Sodikin menempati Café Mungil. Dengan kata lain, persoalan Sodikin dengan Setiadji belum pernah ada putusan hukum yang mengikat, terang Iman.
Disamping perkara Setiadji dengan Ikin Sodikin belum ditangani pihak berwajib, dalam Perjanjian Kerjasama yang menjadi acuan terjadinya persoalan antara Ikin dan Setiadji, ditemukan fakta bahwa Setiadji hanya menerima uang sebesar Rp 35 Juta bukan Rp 879 juta, sebagaimana disebut-sebutkan Ikin Sodikin. Masih menurut Iman, uang sebesar Rp 897 juta diterima Notaris Rp 683 juta, diterima Ade Pampir Rp 55 juta, Yayat Rp 8,5 juta, Elin Rp 22,5 juta, dan Iwan Rp 75 juta.
Tentu dengan uang sebesar Rp 35 juta yang diterima Setiadji harusnya sudah lunas oleh mobil Pajero yang disita oleh Ikin Sodikin dari Setiadji. Bahkan Siti Nurjanah juga sudah memberikan uang tunai sebesar Rp 50 juta kepada Ikin Sodikin melalui Cecep. Walaupun sebagai Istri tidak memiliki kewajiban membayar hutang suami (demikian bunyi Undang-Undang Perkawinan, red).
“Jadi jangan serakah ingin memiliki usaha dengan merampas hak orang, nanti gak berkah hidup diri dan keturunannya,” tegas Iman.
Untuk proses penyitaan barang jaminan pun ada aturannya, menurut Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan dapat dilakukan Penyidik terlebih dahulu. Kemudian setelah itu Wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.
Oleh karena itu Penyitaan termasuk dalam salah satu Upaya Paksa, yang dapat melanggar Hak Azasi Manusia. Maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu Wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.
Sementara dalam kasus penguasaan Café Mungil yang diduga dilakukan Sodikin dkk, tidak melakukan prosedur yang benar. Pasalnya, dugaan penipuannya pun saja belum pernah dilaporkan Sodikin ke pihak yang berwajib. Lantas darimana dasar hukum Sodikin Menyita Café Mungil sedangkan yang berhak menyita menurut Pasal 38 KUHAP tersebut adalah Penyidik berdasarkan persetujuan Pengadilan. Bukan orang per orangan seperti Ikin Sodikin atau kelompok masyarakat tertentu.
“Persoalan Cafe Mungil ini sederhana sebetulnya, jika Ikin Sodikin mau sadar hukum, dan para penegak hukum di wilayah di kabupaten Pangandaran secara profesional menangani persoalannya. Kami dari Tim Kuasa Hukum sudah melayangkan somasi sebanyak 2 (dua) kali kepada yang bersangkutan untuk mencoba bermediasi, namun kami tidak pernah diberi ruang untuk bermediasi. Kami melihat arogansi Ikin lebih tinggi ketimbang nalar dan kesadarannya menaati proses hukum yang berlaku di negara kita,” papar Iman lagi.
Seperti bisa kita lihat bersama, tambahnya, bahwa saat olah TKP di Café Mungil Tim Hukum PS Indonesia tidak diijinkan masuk ke dalam bangunan café. Padahal café itu masih milik klien kami, dan lebih parahnya Ikin memperlihatkan arogansinya itu di depan penyidik dari Polda Jabar.
“Kami bukan takut untuk melawan Ikin Cs, organisasi kami organisasi besar yang tentu memiliki Anggota jauh lebih banyak dengan yang diturunkan Ikin kemarin, namun kami menjaga kondusifitas Pangandaran agar selalu terjaga, yang waras ngalah,” ujar Iman.
Sedangkan Sekjen PS Indonesia, Arif FM yang tengah berada dilokasi TKP saat kericuhan terjadi, sangat disayangkan terjadi kericuhan serta mobilisasi massa. Pria kelahiran Desa Legok Jawa, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran itu pun mengungkapkan rasa malunya sebagai putra daerah Kabupaten Pangandaran menyaksikan kejadian seperti ini.
Padahal Kabupaten Pangandaran, yang sejak kecil dirinya kenal adalah daerah Santri sekarang berubah menjadi sarang Preman setelah terpisah dari Kabupaten Ciamis. Apalagi mengingat Ibundanya Asli Cijoho Parigi, sedangkan Ayahandanya Asli Legok. Dirinya pun sejak kecil dibesarkan di Kabupaten Pangandaran.
Dirinya berharap Bupati bisa menengahi persoalan ini supaya tidak terjadi gesekan lebih besar lagi, karena menurut dia Anggota Pejuang Siliwangi di Kabupaten Pangandaranpun tidak sedikit. Organisasi PS di berdiri tahun 1922, masuk wilayah Kabupaten Pangandaran sejak tahun 1996. Jauh sebelum Kabupaten Pangandaran berdiri. Jadi organisasi kami bukan organisasi kemaren sore yang tentu ingin Kabupaten Pangandaran maju, memberi kedamaian dan kesejahteraan untuk masyarakat banyak, bukan hanya untuk segelintir orang penikmat kekuasaan.
“Saya menghimbau kepada seluruh komponen masyarakat yang ada di Kabupaten Pangandaran agar bisa menahan diri, jangan mudah terprovokasi dengan banyaknya hoax yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti dengan beredar kabar kami dari Ormas PS Indonesia membawa 3 truk untuk merebut Café Mungil, padahal kenyataannya kami datang hanya berempat ke lokasi TKP untuk tujuan mediasi dan melihat TKP. Saya juga banyak menerima WA serta telpon dari jajaran pengurus PS Indonesia di seluruh Indonesia menanyakan kebenaran video yang beredar di media social tentang makian dan cacian yang dilontarkan oleh kelompok masa di lokasi TKP kepada kami. Mereka pun siap berangkat untuk membela saya yang merupakan unsur pimpinan di organisasi PS Indonesia. Namun untuk menjaga kondusifitas Pangandaran saya melarang mereka untuk datang ke Kabupaten Pangandaran, dan saya juga berharap agar Tim Penyidik Polda bisa benar-benar menegakan kebenaran dan menangani persoalan ini secara profesional, supaya persoalan ini tidak menjadi anarkis yang tentunta akan menimbulkan korban jiwa,” pungkasnya. (arf/gs)