SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Menko Polhukam Mahfud MD mengakui kebijakan pemerintah dalam menangani Corona di Indonesia selalu berubah-ubah. Dia menyebut kebijakan mengikuti kondisi Covid-19 yang tidak bisa diprediksi.
“Memang sering berubah-ubah (kebijakannya), karena Covid-nya juga berubah-ubah, tidak bisa diprediksi,” kata Mahfud dalam sambutan di acara BPK RI, Selasa (29/6/2021).
Mahfud mengatakan pandemi Corona adalah suatu fakta yang tidak bisa dihindarkan. Maka, dia meminta semua pihak bersabar.
“Saudara, kita harus terima ini sebagai fakta yang tidak terhindarkan, dan kita harus bersabar meski anggaran harus dikurangi refocusing dan sebagainya, yang penting niat kita baik,” ujarnya.
Dia menuturkan pemerintah tidak mudah menyelesaikan pandemi Corona di Indonesia. Namun, sejak 2020, pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin menangani pandemi ini dengan me-refocusing anggaran di kementerian/lembaga (K/L).
“Pada tahun anggaran 2020, seluruh K/L pada penggunaan anggaran semua terkonsentrasi pada penanganan Covid. Baik secara langsung maupun tidak langsung,” ucapnya.
“Kondisi ini memang tidak dapat dihindari karena memang kita semua harus berkonsentrasi bagaimana menangani Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional,” tambahnya.
Nilai kontroversial
Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam Mahfud MD Md mengakui tidak mudah bagi pemerintah untuk menyelesaikan pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebab, setiap kebijakan yang diambil untuk menangani Covid-19 memiliki nilai kontroversial yang tinggi.
Mahfud menyinggung soal perbedaan pandangan tentang penanganan Covid-19 di Tanah Air dari sejumlah ahli. Dia menanggapi terkait usulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengusulkan Indonesia lockdown dua pekan karena lonjakan kasus yang terjadi akhir-akhir ini.
“Antara dokter yang 1 dengan yang lain tidak selalu sama ya Covid ini, misalnya kalau berita hari ini seorang dokter dari IDI mengatakan, kalau negara ini mau selamat, pemerintah jangan terlambat, segera lockdown. Tapi ada dokter lain namanya dokter Fadilah, jangan lockdown. Sesama dokter berbeda yang cocok di Indonesia tidak lockdown. Ini kan bagi pemerintah juga jadi masalah,” kata Mahfud.
Lalu Mahfud membeberkan perbedaan pandangan tentang Covid-19 dari ahli agama. Menurutnya, dalam pandemi Corona ini, para ahli agama terpecah menjadi dua, yakni penganut paham jabariyah dan paham qodariyah.
“Jabariyah itu paham yang mengatakan kamu akan memperoleh apa pun yang kamu usahakan kalau kamu berusaha sembuh. Berobat, hindari Covid,” ucapnya.
“Tapi ada yang mengatakan juga meski sedikit paham qodariyah itu mengatakan nggak bisa apa pun yang kamu lakukan kalau Tuhan berikan penyakit kamu akan kena. Kamu tidak menghindar juga nggak kena kalau Tuhan tidak mau menakdirkannya,” sambungnya.
Mahfud menyebut kedua paham tersebut tumbuh di tengah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus harus mengambil keputusan.
Lebih jauh Mahfud juga mengungkap perbedaan pandangan dari kalangan sosiolog. Menurutnya, karena perbedaan pandangan itu bahkan ada seorang profesor yang menyebut Covid tidak ada dan hanya konspirasi internasional.
“Nah, itu sebabnya, di antara kontroversi ini gunanya pemerintah itu mengambil kebijakan. Kebijakan sudah diambil dan itulah perlunya kita punya pemerintah. Jadi pemerintah tetap ambil keputusan dan itu dilaksanakan dengan konsisten yang antara lain menyangkut soal anggaran,” ujarnya.
Mahfud mengatakan sejak 2020, penggunaan anggaran seluruh kementerian/lembaga (K/L) terkonsentrasi pada penanganan COVID-19. Perencanaan anggaran sebelum Covid-19 harus direvisi untuk diserahkan ke Kementerian Keuangan yang selanjutnya disalurkan ke K/L yang langsung menangani Covid-19.
“Sehingga pada anggaran 2020 terjadi beberapa revisi anggaran, melalui refocusing. Pada 2021 ini pun DIPA K/L baru saja diberikan ke Presiden pada Januari, kita udah diminta refocusing anggaran yang selanjutnya diserahkan ke Kementerian Keuangan,” katanya. (wwa)