SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Daya beli masyarakat Indonesia mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk fenomena deindustrialisasi dini dan kebijakan pemerintah yang dinilai memberatkan kelas menengah.
Menurut Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Sulistyo, penurunan daya beli ini seiring dengan terjadinya deindustrialisasi dini yang telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini ditandai dengan terus turunnya kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
“Alarm sudah terlihat sejak April 2024, ketika Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur menunjukkan angka di bawah 50, menandakan kontraksi. Namun, respons pemerintah baru terlihat setelah PMI terus menunjukkan angka kontraksi,” ujar Eko dalam diskusi publik bertajuk ‘Kelas Menengah Turun Kelas’ yang digelar secara daring pada Senin, 9 September 2024.
Eko menambahkan, penurunan PMI manufaktur yang berlangsung selama lebih dari lima bulan ini memperlihatkan potensi kontraksi yang lebih dalam pada sektor manufaktur. “Kontraksi ini memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), dan dampaknya jelas pada pelemahan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Deflasi dan Penurunan Daya Beli
Selain deindustrialisasi, Eko juga menyoroti fenomena deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut, yang menurutnya berkaitan erat dengan menurunnya daya beli masyarakat. Harga pangan yang cenderung menurun menjadi indikator melemahnya konsumsi masyarakat kelas menengah.
“Daya beli masyarakat sudah mulai bermasalah. Harga pangan turun, tetapi konsumsi tidak bertambah. Ini menunjukkan bahwa kelas menengah sudah merasakan tekanan dalam pengelolaan keuangannya,” tambahnya.
Lebih lanjut, Eko menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah, seperti peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran Tapera, serta berbagai aturan terkait dana pensiun dan asuransi kendaraan, semakin memberatkan kelas menengah. Kelas menengah seringkali tidak bisa mendapatkan manfaat subsidi seperti kelompok ekonomi bawah, tetapi juga tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti kelompok atas.
“Ini mengundang reaksi negatif dari masyarakat kelas menengah, yang merasa kebijakan ini tidak adil dan memberatkan mereka secara ekonomi,” tegas Eko.
Penurunan Kelas Menengah dan Dampaknya
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sebanyak 9,48 juta orang dari kelas menengah telah turun ke kelas menengah rentan atau bahkan kelompok rentan miskin. Hal ini memberikan dampak signifikan pada ekonomi nasional, mengingat kelas menengah berkontribusi sekitar 81% terhadap pertumbuhan ekonomi.
Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengungkapkan bahwa penurunan ini sudah terjadi selama lima tahun terakhir, dengan puncaknya pada masa pandemi Covid-19. Sektor ketenagakerjaan sangat terdampak, di mana jumlah pekerja di sektor formal mengalami penurunan signifikan.
“Pada tahun 2019, pekerja di sektor formal mencapai 45% dari total pekerja. Namun, saat ini angkanya turun menjadi sekitar 41-42%. Banyak pekerja formal yang terpaksa berpindah ke sektor informal dengan pendapatan yang lebih rendah,” ungkap Yose dalam tayangan Metro Pagi Primetime pada Selasa, 10 September 2024.
Penurunan kualitas lapangan pekerjaan ini berakibat langsung pada daya beli masyarakat. Meskipun pertumbuhan ekonomi mencapai 5% dalam tiga tahun terakhir, hal itu belum cukup memulihkan sektor lapangan pekerjaan. Ditambah dengan inflasi yang cukup tinggi, terutama di sektor pangan, serta kebijakan PPN 12%, masyarakat kelas menengah semakin terhimpit.
“Pada akhirnya, kenaikan harga kebutuhan sehari-hari dan tekanan pajak membuat masyarakat kelas menengah kesulitan, dan tak bisa dipungkiri, banyak yang terpaksa turun kelas,” pungkas Yose.
Tuntutan Perubahan Kebijakan
Dengan kondisi yang kian memprihatinkan, para pakar ekonomi mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah koordinatif dalam merumuskan kebijakan yang lebih pro-rakyat. Diharapkan ada perubahan yang signifikan dalam kebijakan fiskal dan industri untuk mendorong peningkatan daya beli serta kesejahteraan masyarakat, khususnya kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Pemerintah juga diharapkan lebih responsif terhadap indikator ekonomi yang menunjukkan perlambatan, serta lebih memperhatikan keluhan dari masyarakat kelas menengah, yang menjadi sasaran berbagai beban kebijakan pajak dan iuran baru. Hanya dengan kebijakan yang tepat, stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat kembali terjaga.
(Anton)