SUARAINDONEWS.COM, Sleman — Siapa bilang di balik jeruji hanya ada kisah kelam? Di Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, warga binaan justru diajak menari dengan budaya. Tak heran, Komisi XIII DPR RI pun angkat topi — secara harfiah dan simbolis — atas program pembinaan yang tak hanya disiplin, tapi juga penuh nilai-nilai lokal yang menghidupkan.
Hal ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Sugiat Santoso, saat melakukan kunjungan kerja spesifik ke Lapas tersebut pada Jumat siang. Dalam sambutannya, politisi dari Fraksi Partai Gerindra itu menilai pendekatan berbasis budaya di Lapas Cebongan sebagai langkah cerdas yang patut dicontoh.
“Tadi kami disambut tarian budaya yang sangat apik. Ini bukan cuma hiburan, tapi juga cermin pembinaan yang menyatu dengan akar budaya. Sangat patut diapresiasi,” ujar Sugiat yang tampak cukup terkesan, meski tak ikut menari.
Menurutnya, program yang digagas oleh Kalapas Cebongan ini tidak hanya sekadar rutinitas formalitas, tetapi merupakan bagian dari strategi pemasyarakatan yang lebih manusiawi, edukatif, dan memperkuat identitas warga binaan.
Program pembinaan yang diterapkan di Lapas Cebongan mencakup berbagai kegiatan berbasis seni dan budaya lokal, mulai dari pelatihan tari tradisional, kerajinan tangan khas daerah, hingga pertunjukan seni yang melibatkan langsung para warga binaan. Tujuannya tak lain adalah membentuk kembali karakter mereka secara utuh — bukan hanya bebas secara hukum, tapi juga pulih secara sosial dan budaya.
“Budaya adalah bahasa yang menyentuh hati. Kalau pembinaan hanya lewat aturan keras, hasilnya mungkin cuma kepatuhan. Tapi lewat budaya, bisa tumbuh kesadaran dan kepercayaan diri,” tambah Sugiat.
Komisi XIII berharap, model pembinaan berbasis budaya seperti di Cebongan bisa menjadi inspirasi bagi lapas-lapas lain di Indonesia. Selain memperkuat jati diri warga binaan, pendekatan ini juga menunjukkan bahwa proses pemasyarakatan bisa dilakukan tanpa kehilangan sisi kemanusiaan.
Dan siapa tahu, kalau warga binaan sudah jago menari dan berkesenian, kelak keluar lapas bisa jadi seniman — bukan residivis.
(Anton)