SUARAINDONEWS.COM, Jawa Timur – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menerima aspirasi masyarakat dari Civitas Akademika Universitas Madura, Jawa Timur , agar Pulau Madura ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi.
“Kami menitipkan aspirasi kepada Bapak Ketua DPD RI untuk memperjuangkan Provinsi Madura, kata Ketua Umum DPM Universitas Madura, Homaidi saat menyampaikan sambutan.
Homaidi mengatakan, Pulau Madura sangat layak untuk dapat ditetapkan sebagai provinsi terpisah dari Jawa Timur. “Kami meminta dukungan kepada Bapak Ketua DPD RI agar Provinsi Madura ini dapat terwujud. Kami juga sependapat dengan gagasan Ketua DPD RI agar bangsa ini kembali kepada UUD 1945 naskah asli,” tambah Homaidi.
Menanggapi aspirasi tersebut, LaNyalla menyatakan siap memperjuangkan aspirasi tersebut kepada Pemerintah. “Sudah menjadi tugas kami di DPD RI untuk menyerap dan meneruskan aspirasi masyarakat di daerah kepada pemerintah, termasuk aspirasi Provinsi Madura ini, kata LaNyalla, yang saat itu mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan dengan tema “Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia di Universitas Madura, Sabtu (08/07/2023).
LaNyalla menilai sah-sah saja sebuah wilayah melakukan pemekaran sepanjang tetap dalam bingkai NKRI. Tujuan utama pemekaran tersebut hendaknya diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Sebab, kata LaNyalla, perekonomian bangsa saat ini rusak imbas amandemen konstitusi yang terjadi secara empat tahap pada tahun 1999-2002 silam.
Dijelaskannya, berdasarkan data yang dimilikinya, kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan yang tidak sehat. Sebab, kata LaNyalla, angka ICOR atau Incremental Capital Output Ratio kita masuk dalam kategori buruk di ASEAN. Padahal ICOR terkait dengan Total Factor Productivity dan Ukuran Besaran Investasi.
“Angka ICOR kita yang lebih buruk dari negara-negara tetangga itu menandakan bahwa perekonomian Indonesia tidak efisien, yang artinya penggunaan anggaran belanja Pemerintah tidak menghasilkan output yang optimal. Hal itu dipicu oleh rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, tingginya biaya logistik dan rumitnya birokrasi yang memicu munculnya pungli serta korupsi,” tandasnya.
Saat ini, kata “Senator” asal Provinsi Jawa Timur, kita dapat melihat melihat banyaknya lahir undang-undang yang pro kepada mekanisme pasar dalam penataan ekononi nasional. Karena faktanya, sampai hari ini kesejahteraan dan kekayaan hanya dinikmati segelintir orang, sementara jutaan rakyat dalam keadaan miskin dan puluhan juta lainnya sangat berpotensi untuk menjadi miskin.
Sejak amandemen terjadi pada 25 tahun lalu, menurut LaNyalla banyak sekali keganjilan atau terjadi paradoksal di tengah-tengah kita. Bahkan Amanat Reformasi yang dituntut para mahasiswa saat itu, di antaranya adalah menghapus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), faktanya di tahun 2022 yang lalu, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia malah meningkat tajam.
Mengapa ini terjadi? Sebab, ujar LaNyalla, sejak amandemen di era Reformasi tersebut, negara tidak lagi berdaulat untuk menyusun ekonomi. “Karena ekonomi dipaksa disusun oleh Mekanisme pasar bebas. Negara tidak lagi berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, karena cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak sudah dikuasai swasta,” paparnya.
Hipotesa bahwa kesejahteraan rakyat semakin jauh dari harapan terbukti benar. Rakyat hanya bisa menjalani hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan cita-cita lahirnya negara ini, yaitu memajukan Kesejahteraan Umum dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dengan muara terwujudnya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, terasa semakin jauh dari kenyataan.
“Pun halnya dengan kedaulatan rakyat yang saat ini semakin tercerabut dari pemiliknya, yaitu rakyat itu sendiri,” katanya.
Menurutnya, sejak amandemen itu pula, kekuasaan dalam menjalankan negara hanya berada di tangan Ketua Partai dan Presiden terpilih. “Jika Presiden terpilih membangun koalisi dengan ketua-ketua partai, maka ke manapun negara ini tidak akan dibawa, terserah mereka. Rakyat sama sekali tida memiliki ruang kedaulatan, tegas AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Padahal, ujar LaNyalla para pendiri bangsa ini telah merumuskan suatu sistem demokrasi yang memberi ruang bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk duduk di Lembaga Tertinggi Negara, yaitu di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Rakyat mendapat tempat untuk mengisi posisi Utusan Daerah dan Utusan Golongan, selain ada juga anggota DPR yang dipilih melalui Pemilu Legislatif. “Dengan begitu, MPR itu adalah penjelmaan seluruh elemen bangsa . MPR RI menyusun Haluan Negara dan memilih Presiden. Sehingga, Presiden terpilih merupakan petugas rakyat bukan petugas partai,” tegas LaNyalla.
LaNyalla menilai, tak ada pilihan lain jika kita ingin mengembalikan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Jawabnya adalah kembali kepada UUD 1945, yang terdapat wakil-wakil yang dipilih dan utusan-utusan yang diutus untuk berada di MPR RI.
Waki-wakil yang dipilih, menurut LaNyalla adalah peserta Pemilihan Umum. Sedangkan Wakil-wakil yang diutus adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok mereka. Sehingga dirumuskan terdapat dua utusan. Pertama, Utusan Daerah, yaitu mereka para tokoh masyarakat adat dan Raja serta Sultan Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan adalah mereka yang terdiri dari unsur organisasi masyarakat dan organisasi profesi yang aktif memberi kontribusi untuk kemajuan Indonesia.
“Sebagai tawaran penyempurnaan, saya menawarkan agar calon perseorangan satu kamar di dalam DPR bersama wakil dari partai politik. Sehingga Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga dipilih melalui Pemilu dari unsur perseorangan, berpindah menjadi satu kamar di DPR RI. Karena pada hakikatnya mereka sama-sama dipilih melalui Pemilu,” papar AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Ahmad Djunaedi)