SUARAINDONEWS.COM, Jakarta — Kosgoro 1957 bersama Institut Bisnis & Informatika Kosgoro 57 (IBI-K57) menggelar diskusi publik nasional bertajuk “Menata Ulang Konsep Keserentakan Pemilu: Solusi Legislasi Pasca Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024”, di The Sultan Hotel, Jakarta, Jumat (18/7). Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber kunci seperti Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin, Pengamat Politik Dr. Hendri Satrio, Pakar Hukum Tata Negara Dr. Trubus Rahardiansyah, serta Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024–2029 Rambe Kamarul Zaman.
Diskusi ini digelar sebagai respons atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menetapkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah mulai tahun 2029. Putusan ini dinilai mengubah secara mendasar tafsir terhadap konsep keserentakan pemilu yang selama ini menjadi pijakan sistem demokrasi di Indonesia.
Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Kosgoro 1957, Agung Laksono, dalam sambutannya menegaskan bahwa keputusan MK ini bukan keputusan biasa. Ia menyebutnya sebagai keputusan “spektakuler dan berdampak luas” yang perlu dikaji ulang secara mendalam dari berbagai perspektif, baik politik, hukum, maupun tata kelola pemerintahan.
“Putusan MK 2024 ini berdampak besar, tidak hanya kepada aktor politik tapi juga masyarakat umum. Karena itu, kami ingin mendalami dari berbagai sudut pandang,” kata Agung.
Agung menekankan pentingnya menjaga semangat demokrasi dan keutuhan konstitusi. Ia menolak pendekatan emosional dan mendorong semua pihak bersikap rasional serta arif dalam merespons putusan tersebut.
“Kami tidak sedang mencari-cari kesalahan, tapi ingin memastikan bahwa setiap langkah tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan proses legislasi yang berlaku. Jika putusan MK bersifat final dan mengikat, maka penyikapannya harus melalui jalur konstitusional dan legislasi yang tepat,” jelasnya.
Agung juga menyoroti dampak teknis yang muncul akibat pemisahan pemilu, terutama terkait potensi ketidaksesuaian masa jabatan kepala daerah dan wakil rakyat. Hal ini bisa mengganggu siklus lima tahunan yang selama ini menjadi standar dalam sistem pemilu nasional.
“Kalau siklus lima tahunan menjadi tidak seragam — ada yang lebih panjang, ada yang lebih pendek — maka perbaikannya harus dibahas secara cermat. Jangan sampai kebijakan ini justru membuka ruang tafsir yang memicu konflik antara pusat dan daerah,” tegasnya.
Dalam kesempatan terpisah saat berbincang dengan media, Agung menegaskan bahwa Kosgoro 1957 akan menyusun pandangan dan rekomendasi resmi terkait putusan ini. Pandangan tersebut akan disampaikan kepada partai Golkar, anggota legislatif, serta pengurus wilayah sebagai kontribusi objektif dari Kosgoro terhadap pembangunan demokrasi.
“Penting bagi Kosgoro 1957 menyampaikan pandangan dan sikapnya terkait putusan MK ini. Buah pikiran ini harus disampaikan secara objektif kepada anggota kami di DPR RI, DPRD, dan pengurus di daerah,” ungkapnya.
Agung bahkan menyamakan situasi ini seperti buah simalakama. Di satu sisi, putusan MK bersifat final dan mengikat, namun di sisi lain perlu dicermati agar tidak menimbulkan pelanggaran konstitusi maupun kebingungan pelaksanaan.
“Maju kena, mundur kena. Maka harus dicari formula terbaiknya, jangan sampai salah tafsir. Bahkan untuk MK sendiri, jangan sampai putusannya bertentangan dengan konstitusi,” tambahnya.
Menurut Agung, forum diskusi ini hanyalah awal dari proses yang lebih panjang. Kosgoro 1957 berencana menggelar pertemuan-pertemuan lanjutan guna merumuskan rekomendasi kebijakan yang konstruktif. Ia berharap hasil diskusi ini bisa menjadi pijakan dalam menata ulang sistem pemilu secara normatif, fungsional, dan realistis.
“Kami bukan lembaga pembuat keputusan, tapi punya tanggung jawab moral dan politik untuk memberikan masukan. Semua hasil diskusi akan kami rumuskan dalam naskah resmi dan disampaikan kepada pihak-pihak terkait,” tutupnya.
Diskusi ini mencerminkan sikap kritis namun konstruktif Kosgoro 1957 dan IBI-K57 terhadap arah reformasi politik nasional pasca Putusan MK. Sebuah ikhtiar menjaga demokrasi, memperkuat NKRI, dan menghindari potensi disintegrasi akibat ketidaksinkronan kebijakan.
(Anton)