Oleh Sultan Baktiar Najamudin
Ketua DPD RI / Penggagas Green Democracy
SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Belum kering air mata warga Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Sejak 25 November 2025, tiga provinsi itu menghadapi luka ekologis yang sama: banjir bandang, tanah longsor, dan gelombang duka yang merayap dari kampung ke kampung.
Di pengungsian, warga menjemur pakaian yang tak pernah benar-benar kering, sambil memeluk anak-anak yang bertanya, “Kapan rumah kita kembali?” Ini bukan sekadar bencana musiman, melainkan tragedi kemanusiaan yang mengoyak hati kita sebagai bangsa.
Para ahli lingkungan selalu mengingatkan: data tidak pernah bohong. Bencana Sumut–Sumbar–Aceh bukan yang pertama dan bukan pula satu-satunya. Jika paradigma pembangunan tidak berubah, ini pasti bukan yang terakhir.
Kerusakan Ekologis: Pola, Bukan Kebetulan
Selama puluhan tahun, pembangunan Indonesia bertumpu pada tanah, mineral, dan hutan sebagai modal utama. Yang salah bukan pemanfaatannya, melainkan ketika pembangunan dilakukan tanpa menghitung batas kemampuan alam.
Data WALHI menunjukkan pola konsisten:
- Era Soeharto: aktivitas ekstraktif (logging, kebun kayu, sawit, tambang) mencakup ±78,6 juta hektare.
- Era SBY: total aktivitas mencapai ±55 juta hektare dengan penerbitan izin hingga 21,9 juta hektare — tertinggi di era reformasi.
- Era Jokowi: aktivitas tercatat ±7,9 juta hektare, dengan 1,48 juta hektare izin baru.
- Era Habibie, Gus Dur, dan Megawati juga meninggalkan jejak meski dalam jumlah lebih kecil.
Lebih dari 50 tahun, pembangunan dibangun di atas eksploitasi agresif sumber daya alam. Setiap hektare yang hilang meninggalkan konsekuensi yang kini harus ditanggung generasi hari ini.
Iklim yang Memanas: Ancaman Nyata, Bukan Propaganda
BMKG mencatat suhu Indonesia meningkat ±0,8°C sejak 1981. IPCC menempatkan Asia Tenggara mengalami pemanasan 0,14–0,20°C per dekade. Hasilnya terlihat: musim kacau, gelombang panas panjang, dan hujan ekstrem meningkat 30–40% di banyak wilayah.
Bappenas dan BNPB menyebut ±135 juta penduduk kini tinggal di wilayah rawan banjir, longsor, dan bencana hidrometeorologi — lebih dari setengah populasi Indonesia hidup di atas garis bahaya.
Banjir dan longsor yang berulang bukanlah kejutan. Hukum bisa direkayasa, tapi alam tak pernah bohong.
Deforestasi: Luka Menganga yang Belum Sembuh
KLHK dan Global Forest Watch mencatat Indonesia kehilangan 23,7 juta hektare hutan antara 1990–2015.
Titik terburuk terjadi pada 2011 dengan hilangnya 918.678 hektare, disusul kebakaran 2015 yang menghanguskan 2,6 juta hektare.
Meski sempat turun pada 2016–2021, sejak 2022 angka deforestasi naik kembali akibat ekspansi tambang nikel, perkebunan monokultur, dan megaproyek infrastruktur.
Penelitian CIFOR, FAO, dan Hewlett & Hibbert menunjukkan hutan lebat dapat mengurangi limpasan air 20–50%. Ketika hutan hilang, kemampuan itu anjlok menjadi 5–20%, dan air meluncur deras ke hilir membawa tanah, batu, dan jiwa manusia.
Utang Kelalaian yang Kini Menagih
Bangsa ini sedang membayar utang ekologis yang diwariskan generasi sebelumnya. Utang ini tak akan lunas hanya dengan bantuan sosial atau kunjungan pejabat.
Daerah aliran sungai yang dulu kokoh kini rapuh. Hutan yang dulu seperti spons raksasa kini kehilangan daya serapnya. Suhu lokal yang meningkat memperparah risiko.
Jika tidak belajar dari sejarah, bencana hanyalah ulangan dari ujian yang jawabannya tidak pernah kita kerjakan.
Green Democracy: Kompas Moral Indonesia di Abad Perubahan Iklim
Green Democracy adalah paradigma baru yang harus menjadi fondasi keputusan publik: demokrasi yang tidak hanya mendengar suara rakyat, tetapi juga suara bumi.
Suara hutan yang ditebang, suara sungai yang meluap, suara gunung yang retak, dan suara generasi mendatang yang menunggu apakah kita akan bijak atau lalai.
Keputusan pembangunan tidak boleh lagi hanya menimbang pertumbuhan ekonomi. Ia harus menghitung biaya ekologis dan risiko masa depan. Harmoni adalah nilai leluhur Nusantara yang harus kita hidupkan kembali.
Green Democracy bukan hanya tentang hutan yang ditebang, tetapi tentang masa depan yang ikut hilang. Kita tidak boleh mengembalikan bumi kepada anak cucu dalam keadaan rusak.
Tujuh Langkah Nasional Menghentikan Sejarah Kelam
- Memperkuat BNPB–BMKG–Basarnas menjadi satu ekosistem tangguh setara FEMA (AS).
- Audit nasional seluruh izin ekstraktif sejak Orde Baru.
- Moratorium izin baru di kawasan rawan ekologis (Sumatera, Kalimantan, Papua).
- Peta Risiko Ekologis Nasional berbasis satelit dan AI untuk deteksi dini bencana.
- Green Tax Incentive bagi perusahaan yang menurunkan emisi dan menjalankan ESG.
- Rehabilitasi 3 juta hektare hutan dalam 5–10 tahun melalui gerakan nasional.
- Green Democracy sebagai pedoman etika kepemimpinan dan prinsip pembangunan nasional.
Indonesia harus naik kelas: dari negara yang memadamkan bencana, menjadi negara yang mencegah dan memimpin peradaban hijau Nusantara.
Jangan Biarkan Sejarah Menghukum Kita
Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam pusaran krisis iklim global. Kita harus memimpin, bukan sekadar bertahan. Bukan hanya membangun negeri, tetapi menyelamatkan bumi.
Karena pada akhirnya,
data tidak pernah bohong — dan sejarah kelam tidak boleh dibiarkan berulang.
Green Democracy: People, Planet, Policy.
) Penulis: Sultan Baktiar Najamudin, Ketua DPD RI 2024–2029, Penggagas Green Democracy.




















































