SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Di tengah hiruk-pikuknya persoalan politik dan pandemi di Indonesia, Pemerintah Indonesia menerima komunikasi dari mekanisme Dewan HAM PBB, Special Procedures Mandate Holders/SPMH. SPMH meminta klarifikasi dan penjelasan mengenai sejumlah kasus dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Provinsi Papua dan Papua Barat.
SPMH telah mencatat berbagai peristiwa tersebut secara lengkap, misalnya peristiwa di Sugapa, di Desa Kokas-Fakfak, di Maki-Ilaga Utara, yang mungkin jauh dari akses publik. Beberapa Operasi Militer juga diminta untuk dijelaskan, misalnya Operasi militer di Kabupaten Puncak pada Mei-Juli 2021, dimana operasi keamanan dan militer dalam rangka menangkap TPNPB di wilayah tersebut dilakukan tanpa atau dengan sedikit upaya mencegah serangan tidak menyasar warga sipil, serta beresiko menimbulkan aksi kekerasan dan penahanan paksa terhadap orang asli Papua.
Ada juga Operasi militer di Kabupaten Maybrat pada November 2021, Operasi militer di Kabupaten Pegunungan Bintang (Oktober-November 2021), dimana Komnas HAM menginisiasi penyelidikan pembunuhan petugas kesehatan dan dugaan pengeboman desa di Distrik Kiriwok, namun delegasi Komnas HAM tidak diizinkan untuk mengakses wilayah tersebut dengan alasan keamanan, Operasi militer di Kabupaten Nduga (Desember 2018, tahun 2020, November 2021), dan Operasi militer di Kabupaten Yahukimo (November 2021).
Terkait surat tersebut, Senator Papua Barat, Filep Wamafma angkat bicara. Menurutnya, ada 2 (dua) hal pokok yang patut dicermati secara serius.
“Pertama, seharusnya semua kasus pelanggaran HAM di Papua, bukan hanya dalam 5 (lima) tahun terakhir saja, melainkan sepanjang integrasi Papua ke Indonesia, harus diselesaikan secara serius. Komunikasi dari Dewan HAM PBB tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah belum mampu menyelesaikan akar persoalan di Papua”, kata Filep, Rabu (16/2/2022).
“Kita masih ingat hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menyebutkan ada 4 (empat) akar masalah di Papua yaitu masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, masalah operasi militer yang terjadi karena konflik terkait sejarah dan status politik integrasi yang tak terselesaikan dan menciptakan luka kolektif Orang Papua, munculnya stigma termarjinalisasi di mana Orang Papua merasa tersingkir, dan kegagalan pembangunan Papua yang bisa diukur dari pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. Semua hasil penelitian ilmiah itu dikemanakan? Mengapa tidak digunakan?” sambungnya.
Bahkan Filep menegaskan bahwa akar masalah berupa penyelesaian pelanggaran HAM, sudah menjadi rekomendasi dari Pansus DPD RI.
“Saya dan teman-teman Pansus Papua DPD RI, sudah memberi rekomendasi kepada Pemerintah dengan tegas dan jelas. Sudut pandang pemerintah terhadap Papua harus diperbaiki,” katanya.
Filep menyesalkan bahwa selama ini Pemerintah lebih memilih menggunakan pendekatan infrastruktur dan kesejahteraan.
“Bagaimana orang bisa makan-minum-sekolah kalau masih ada gangguan keamanan? Bagaimana orang bisa tidur nyenyak kalau masih lihat senjata? Belum lagi kalau kita bicara tentang trauma psikologis generasi muda. Sebagai Senator, saya tegaskan bahwa apa yang dikomunikasikan oleh Dewan HAM PBB ini merupakan teguran keras terhadap Pemerintah, yang akan berpengaruh terhadap kepercayaan internasional”, jelas Filep.
Selanjutnya, poin kedua menurut Filep ialah Pemerintah harus fokus pada percepatan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.
“Sekali lagi, saya dan kawan-kawan di Pansus Papua DPD RI, sudah sangat banyak berbicara kepada Pemerintah. Jangan sampai semua data dan informasi yang kami sampaikan hanya dijadikan pajangan saja. Kalau tidak memakai data dari Pansus Papua, yang bekerja berdasarkan amanat rakyat dan peraturan perundang-undangan, lalu mau pakai data dari mana?”, tanya Filep lagi.
Filep sangat mengesalkan kelambanan Pemerintah untuk menyelesaikan akar persoalan di Papua. Menurut Filep, Pemerintah terlalu sering ingkar janji terkait penyelesaian persoalan di Papua.
“Akhir 2021 kemarin, Kejaksaan Agung (Kejagung) membentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Provinsi Papua, Tahun 2014. Sudah ada 37 orang yang diperiksa (6 orang sipil, 13 orang dari pihak Kepolisian RI dan 18 orang dari pihak TNI). Namun bagaimana kelanjutan kasus-kasus yang lainnya?”, kata Filep.
Menurut Filep, desakan Dewan HAM PBB tersebut menuntut keseriusan dan suatu upaya maksimal dalam percepatan penyelesaian akar persoalan yaitu pelanggaran HAM di Papua.
“Sekaranglah saatnya diselesaikan, dan jangan ada cuci tangan atau lip service lagi!”, tegas Filep mengakhiri wawancara.(Agus M)