SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menilai aturan mengenai perkawinan campur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan masih lemah dan belum tegas. Menurutnya, kondisi ini memicu berbagai persoalan hukum yang merugikan masyarakat.
“Saya meminta dimasukkan dalam catatan kesimpulan nanti, supaya pasal yang menyangkut perkawinan campur dan anak-anak dari perkawinan campur di Undang-Undang Kewarganegaraan diatur lebih khusus lagi. Karena memang saya lihat di sini agak blur,” kata Andreas dalam RDPU dengan Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Kasus Sabu Raijua Jadi Contoh Nyata
Andreas mengingatkan bahwa lemahnya aturan kewarganegaraan pernah menimbulkan polemik besar di Kabupaten Sabu Raijua, NTT. Saat itu, seorang calon kepala daerah bermasalah dengan status kewarganegaraan meski sudah lama bekerja di luar negeri.
“Di partai kami, PDI Perjuangan, juga ada korban. Calon kami di Sabu Raijua waktu itu sudah menang, tapi dicabut lagi kemenangannya karena masalah kewarganegaraan,” jelasnya.
Anak Hasil Perkawinan Campur Sering Dirugikan
Selain dalam dunia politik, aturan yang tidak jelas juga berdampak pada kehidupan keluarga. Anak-anak dari perkawinan campur kerap mengalami ketidakpastian status kewarganegaraan, yang berimbas pada hak pendidikan, administrasi kependudukan, hingga peluang kerja.
“Persoalan ini banyak ditemukan dalam lingkup keluarga, terutama bagi anak-anak dari perkawinan campur,” ujar Andreas.
Komitmen DPR: Perbaikan Regulasi
Andreas memastikan DPR akan mendorong perbaikan regulasi agar celah hukum tidak lagi merugikan masyarakat.
“Saya paham betul, nanti kita perbaiki apakah itu di Baleg atau di Komisi XIII. Kita undang khusus untuk membahas pasal yang berkaitan dengan perkawinan campur dan anak-anak dari perkawinan campur ini,” tegasnya.
Perbandingan dengan Negara Lain
Beberapa negara telah lebih tegas dalam mengatur soal kewarganegaraan bagi hasil perkawinan campur:
- Malaysia: Anak hasil perkawinan campur bisa mendapatkan kewarganegaraan otomatis dari salah satu orang tuanya, namun aturan masih lebih berpihak pada garis ayah. Baru-baru ini Mahkamah Tinggi Malaysia memutuskan anak dari ibu warga negara juga berhak otomatis menjadi WN Malaysia.
- Singapura: Memberlakukan aturan ketat dengan sistem citizenship by descent. Anak dari salah satu orang tua warga negara otomatis diakui, meski tetap ada syarat administratif yang jelas.
- Filipina: Lebih progresif, anak hasil perkawinan campur otomatis mendapat kewarganegaraan ganda hingga usia tertentu, sebelum diminta memilih kewarganegaraan tetap.
Dari perbandingan ini terlihat bahwa Indonesia masih tertinggal karena belum memberi kepastian penuh bagi anak-anak dari perkawinan campur. Celah hukum inilah yang mendorong DPR untuk segera melakukan revisi.
Dengan langkah revisi UU Kewarganegaraan, DPR diharapkan bisa memberikan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan bagi masyarakat, terutama mereka yang lahir dari perkawinan campur.
(Anton)