SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha memaparkan strategi transisi Indonesia di forum paralel dengan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim, yang digagas Presiden AS Joe Biden secara virtual.
Menurut Satya, sejumlah strategi transisi energi yang dilakukan Indonesia merupakan bentuk implementasi dari dua komitmen besar internasional yaitu memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dan Perjanjian Paris sesuai UU No 16 Tahun 2016.
Di SDGs, lanjut Satya, meliputi SDG No 7 tentang Energi dan Keberlanjutan dan No 13 tentang Aksi Perubahan Iklim, sementara di Perjanjian Paris melalui kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC).
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki target-target penurunan emisi karbon dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Pada 2020, penurunan emisi karbon mencapai 64,36 juta ton karbon dengan target NDC sebesar 314 juta emisi karbon pada 2030 antara lain melalui peningkatan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), efisiensi energi, campuran bahan bakar (co-firing) PLTU dengan biomassa, penggunaan mobil listrik dan bahan bakar lain rendah karbon, dan teknologi bersih.
Target NDC tersebut masih lebih kecil dibandingkan sasaran RUEN yaitu 745,2 juta ton emisi karbon pada 2030.
Satya melanjutkan strategi transisi energi lainnya adalah dukungan pendanaan lewat keuangan hijau dan bunga rendah.
“Tujuan transisi energi RI adalah menjamin keamanan, kemandirian energi, kedaulatan energi yang berkelanjutan, rendah karbon, dan pemenuhan target-target perubahan iklim,” katanya.
Dalam forum tersebut, Satya juga memaparkan percepatan pemanfaatan EBT merupakan salah satu upaya konkret Indonesia dalam merealisasikan energi hijau.
Percepatan pemanfaatan EBT dilakukan dengan pengembangan PLTS secara masif, efisiensi pembangkit, dan penggunaan briket dan biogas.
Target energi hijau lainnya adalah melalui pemanfaatan kendaraan listrik, baterai, dan penggunaan hidrogen.
“Upaya transisi energi Indonesia lainnya adalah smart energy, smart grid, dan konservasi energi,” tambahnya.
Forum paralel ini digagas oleh US-Asia Institute bekerja sama dengan AQA (Air Quality Asia) dan dihadiri anggota parlemen dari berbagai negara seperti Wakil Ketua Parlemen Filipina Loren Legarda, Anggota Kongres Amerika Raja Krishnamoorthi, Anggota Parlemen Afrika Selatan Cedrik T Frolick, Anggota Senat Maroko Neila Tazi, dan dua Anggota Komisi VII DPR RI yakni Dyah Roro Esti Widya Putri dan Mercy Barends.
Anggota Komisi VII DPR Dyah Roro Esti dalam pandangan penutupan acara tersebut berpendapat partisipasi 40 kepala negara dalam KTT Perubahan Iklim beserta kebijakan-kebijakan ramah lingkungan yang telah dihasilkan menunjukkan adanya komitmen politik (political will).
Menurut Roro Esti, yang juga Sekretaris Kaukus Ekonomi Hijau DPR, hal terpenting selanjutnya adalah kemampuan para pemimpin memonitor implementasi kebijakan-kebijakan tersebut.
Presiden AS Joe Biden melakukan langkah strategis pada awal kepemimpinannya dengan mengembalikan komitmen negaranya pada Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Biden mengundang 40 pemimpin dunia hadir dalam The Leaders Summit on Climate atau Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim yang dilakukan secara virtual dan disiarkan langsung untuk dilihat publik pada 22-23 April 2021.
Pembahasan dalam pertemuan ini berfokus pada urgensi dan manfaat ekonomi dari tindakan iklim yang lebih kuat.
Agenda ini juga menjadi tonggak penting menuju Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) pada November 2021 di Glasgow, Skotlandia. (wwa)