SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mendapat sorotan dari berbagai pihak. Sejumlah tokoh menekankan agar perubahan regulasi tidak hanya fokus pada aspek ibadah, tetapi juga mempertimbangkan ekosistem ekonomi yang sudah terbentuk, sekaligus menyesuaikan dengan dinamika kebijakan terbaru Pemerintah Arab Saudi.
Ketua Tim 13 Asosiasi Haji Umrah, M. Firman Taufik, menegaskan bahwa penyelenggaraan haji dan umrah di Indonesia sudah menjadi industri besar yang menopang perekonomian masyarakat. “Sejarah haji-umrah dimulai sejak sebelum kemerdekaan melalui ormas Islam, lalu berkembang menjadi industri. Ekosistemnya melibatkan UMKM, katering, transportasi, konveksi, hingga hotel. Saat pandemi berakhir dan jamaah kembali diberangkatkan, ekonomi langsung bergerak. Itu bukti konkret,” ujarnya dalam Forum Legislasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (19/8/2025).
Firman mengingatkan agar revisi UU PIHU tidak merusak ekosistem tersebut. Ia juga membandingkan antara Haji Reguler (92% kuota, disubsidi pemerintah, tunggal penyelenggara, masa tunggu panjang) dan Haji Khusus (8% kuota, dikelola 940 lebih penyelenggara, tanpa subsidi, fleksibel). Menurutnya, undang-undang yang baru harus menjawab tantangan digitalisasi, perubahan perilaku konsumen, regulasi baru Arab Saudi, dan transparansi aturan turunan.
Sementara itu, Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, menilai revisi UU memang tidak bisa dihindari. Faktor pendorongnya antara lain transformasi kebijakan Arab Saudi, pandemi, hingga political will Presiden Prabowo Subianto yang membentuk Badan Pelaksana Haji (BP Haji). “Draft yang saya terima (belum resmi dari DPR) memberi warna baru, seperti kompensasi dan ganti rugi bagi jamaah yang tidak mendapat layanan konsumsi, akomodasi, atau transportasi. Ini penting karena dana haji sepenuhnya dari jamaah, bukan APBN,” jelas Mustolih.
Ia juga menyoroti masalah visa furoda yang kerap bermasalah karena regulasi Saudi, bukan kesalahan asosiasi atau travel. Namun, Mustolih mengingatkan agar UU baru tidak terlalu “Indonesia-sentris”. “Penyelenggaraan haji itu 90% terjadi di Arab Saudi. Kalau revisi UU hanya pakai paradigma di tanah air, tanpa menimbang kebijakan Saudi, maka undang-undang itu tidak relevan,” tegasnya.
Mustolih juga mengkritisi aturan kuota yang kaku (92% reguler, 8% khusus). Menurutnya, kuota sebaiknya bersifat fleksibel, misalnya dengan rumusan “minimal 8% untuk haji khusus”, agar ketika ada tambahan kuota dari Saudi bisa diserap tanpa melanggar aturan. Ia juga memperingatkan agar regulasi tidak membuka ruang umrah mandiri yang berisiko besar bagi jamaah.
Dari sisi legislator, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, memastikan bahwa RUU Haji sudah masuk Prolegnas dan akan segera dibahas bersama pemerintah. Ia menekankan bahwa penyelenggara haji ke depan harus setingkat menteri dan selaras dengan Visi Arab Saudi 2030. “Kita harus aktif menyesuaikan dengan kebijakan Arab Saudi, agar sistem kita tidak tertinggal. Pembahasan akan dilakukan secara partisipatif, melibatkan berbagai pihak,” ujarnya.
Abidin menambahkan, Komisi VIII sedang menyusun jadwal masa sidang untuk pembahasan lebih detail. Ia berharap revisi UU dapat segera rampung dan memberi kemaslahatan lebih besar bagi jamaah.
(Anton)