SUARAINDONEWS.COM, Bekasi – Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Dr. Benny K. Harman, S.H., menyampaikan bahwa Pasal 30 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saat ini masih menggunakan paradigma lama yang berorientasi pada ancaman fisik konvensional. Padahal, perubahan global 25 tahun terakhir telah menimbulkan ancaman-ancaman non-fisik yang jauh lebih kompleks.
“Tantangan kita hari ini bukan hanya pada ancaman militer. Ancaman pangan, energi, lingkungan hidup, hingga serangan siber menjadi isu krusial yang menentukan ketahanan nasional. Jika bangsa ini bergantung sepenuhnya pada pangan dari luar, negara bisa masuk dalam situasi yang membahayakan,” ujar Benny.
Hal itu disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD) Kelompok V Badan Pengkajian MPR RI bertema “Pertahanan dan Keamanan Negara” di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (18/11/2025).
Diskusi ini dihadiri oleh anggota Badan Pengkajian MPR RI, diantaranya Heri Gunawan, S.E., M.AP., dari Fraksi Partai Gerindra; Mayjen TNI (Purn) Dr. H. Hasanuddin, S.E., M.M., dari Fraksi PDIP; Jialyka Maharani, S.I.Kom., H. Al Hidayat Samsu, S.I.Kom., dan Jupri Mahmud, S.E., dari Kelompok DPD.
Hadir juga narasumber dari kalangan akademisi Universitas Pertahanan, antara lain Mayjen TNI (Purn.) Dr. Puguh Santoso, S.T., M.Sc.; Mayjen TNI (Purn) Dr. I Gede Sumertha KY, PSC., M.Sc.; dan Laksda TNI Dr. Ivan Yulivan., S.E., M.M.
Politisi Demokrat itu menyoroti bahwa Pasal 30 sebetulnya telah mengatur tiga pilar pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri, dan rakyat). Namun, perkembangan ancaman modern menuntut perumusan ulang konsep pertahanan yang lebih adaptif.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran terkait kerentanan Indonesia sebagai negara majemuk dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor asing maupun kelompok berkepentingan di dalam negeri. Ancaman disrupsi internal dianggap justru lebih berbahaya daripada ancaman militer terbuka.
“Yang lebih menakutkan adalah kemampuan pihak tertentu untuk melemahkan bangsa dari dalam. Isu pangan, energi, dan penguasaan sumber daya alam menjadi titik kritis. Jika tidak dikelola dengan baik, itu bisa menjadi alat untuk melemahkan kedaulatan kita,” terangnya.
Dalam paparan awal, Mayjen TNI (Purn.) Dr. Puguh Santoso, S.T., M.Sc. mengatakan pentingnya membangun tata kelola ketahanan, pertahanan, dan keamanan nasional sebagai satu sistem terpadu. Hal ini muncul karena berbagai regulasi yang ada dinilai belum tuntas, tumpang tindih, dan tidak operasional.
Menurutnya, banyak undang-undang terkait keamanan nasional termasuk Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Pertahanan, dan sejumlah regulasi turunan belum dirumuskan secara lengkap. Contoh paling jelas adalah persoalan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tidak berjalan optimal karena tidak memiliki pedoman operasional yang tuntas.
“Secara teori hukum, sebuah sistem harus runtut dari Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hingga aturan pelaksana. Namun saat ini banyak celah yang membuat lembaga negara kebingungan dalam bertindak,” tegasnya.
Puguh juga menjelaskan, bahwa Indonesia sudah memiliki postur militer, namun tidak memiliki postur energi, postur pangan, postur kesehatan, dan sektor-sektor ketahanan lainnya yang seharusnya dapat diukur dan dipetakan secara nasional.
“Ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan ekonomi adalah bagian dari elemen power nasional. Tanpa postur yang jelas, pemerintah sulit menilai kesiapan menghadapi ancaman non-militer maupun hibrida,” jelasnya.
Puguh menyebutkan pentingnya Indonesia segera memiliki Undang-Undang Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai “fishbone” tata kelola keamanan yang nantinya menjadi dasar pembentukan Dewan Keamanan Nasional atau lembaga serupa yang berada langsung di bawah Presiden.
Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) Dr. I Gede Sumertha KY, PSC., M.Sc., menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan pembenahan besar pada tata kelola pertahanan dan keamanan untuk menghadapi ancaman modern yang semakin kompleks.
Sumertha juga menjelaskan bahwa meskipun kerangka hukum sudah memisahkan urusan pertahanan dan keamanan, secara praktik kedua sektor tersebut membutuhkan penyatuan koordinasi melalui strategi keamanan nasional (national security).
Ia juga menyoroti bahwa peraturan terkait tugas TNI selain perang masih minim, sehingga sering terjadi tumpang tindih dengan Polri, khususnya dalam operasi di Papua.
“Tidak ada Rule of Engagement yang jelas, tidak ada SOP lintas institusi. Bahkan latihan bersama pun hampir tidak pernah dilakukan,” ujarnya.
Selain itu, ia menekankan bahwa Indonesia masih kekurangan doktrin pertahanan non-militer, padahal ancaman saat ini tidak hanya bersifat militer, namun juga mencakup ancaman kesehatan, ekonomi, digital, hingga genomik.
Sumertha pun menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan grand strategy keamanan nasional yang terintegrasi serta didukung oleh regulasi, komando, dan koordinasi lintas sektor yang jelas.
“Selama kita tidak punya National Security Council, tidak punya doktrin non-militer, dan belum rapi dalam kerja lintas lembaga, maka respons kita terhadap ancaman modern akan selalu tertinggal,” pungkasnya.
Di kesempatan yang sama, Laksda TNI Dr. Ivan Yulivan., S.E., M.M., menyampaikan strategi pertahanan Indonesia perlu menyesuaikan dengan ancaman kontemporer yang bersifat hybrid dan berbasis teknologi tinggi. Selain itu, perlu pembaharuan dengan pemanfaatan intelijen, AI, dan kolaborasi riset ilmiah.
“Tidak mungkin Indonesia diserang secara head-to-head karena biaya dan luas wilayah yang sangat besar. Ancaman modern datang dari dalam, menghancurkan ekonomi, demokrasi, perilaku, dan sistem informasi,” tambahnya.
Ivan juga menyampaikan pentingnya integrasi lintas lembaga dan peran rakyat dalam pertahanan negara. Selain itu, perlunya koordinasi antara DPN, TNI, Polri, kementerian, lembaga riset, serta industri pertahanan untuk menyusun kebijakan terintegrasi dan menghadapi ancaman global seperti cyber attack, satelit, dan propaganda internasional.
Persiapan teknologi dan industri pertahanan, kata Ivan, adalah hal yang juga dinilai sangat penting. Ia juga mengingatkan bahwa peran rakyat, integrasi strategi, dan modernisasi doktrin pertahanan merupakan kunci agar Indonesia dapat menghadapi ancaman masa depan dengan efektif dan terukur.
“Penguatan drone, rudal taktis, kapal patroli, serta sistem AI harus menjadi prioritas, karena perang modern bukan lagi fisik langsung, tapi informasi dan teknologi,” katanya.
(Anton)




















































