SUARAINDONEWS.COM, Jakarta – Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen bersama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI hari ini memanas, ketika dua pembicara utama mengkritisi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah.
Wakil Ketua Badan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI, Agun Gunanjar Sudarsa, menegaskan bahwa dalam sistem ketatanegaraan yang terbuka, perbedaan pandangan adalah hal wajar. Namun, ia mengingatkan pentingnya penafsiran konstitusi yang tepat dan konsisten.
“Kita negara hukum yang supremasinya ada pada konstitusi. Putusan MK memang final dan mengikat, tapi implementasinya tetap harus diikuti dengan regulasi DPR. DPR dan pemerintah punya peran strategis untuk memastikan aturan tidak bertentangan dengan NKRI dan sistem presidensial,” tegas Agun.
Agun menilai putusan MK terkait pemisahan pemilu tidak boleh dilihat secara emosional. Menurutnya, hal itu bagian dari dinamika politik yang harus dijalani dengan akal sehat, rasionalitas, dan kesadaran geopolitik.
Sementara itu, Pengamat Politik Abdul Hakim MS memberikan kritik tajam terhadap posisi MK yang dinilai terlalu dominan. Ia menilai putusan pemisahan pemilu yang diambil sembilan hakim MK tanpa proses dialog luas berpotensi mengabaikan prinsip check and balance.
“Bayangkan, sembilan orang hakim bisa mengubah tata kelola demokrasi yang menyangkut hampir 300 juta rakyat tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. MK kerap membuat norma baru yang sejatinya menjadi kewenangan legislatif,” ujar Abdul Hakim.
Ia menambahkan, ketiadaan lembaga yang mampu menjadi challenger terhadap putusan MK menjadikan lembaga ini “superbody” dalam sistem ketatanegaraan.
“Sudah saatnya ada pembatasan agar MK tidak menjadi lembaga superior yang kebal koreksi,” tegasnya.
Diskusi yang mengusung tema “Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu” ini dihadiri jurnalis parlemen dan sejumlah pemangku kepentingan politik. Isu pemisahan pemilu dinilai akan mempengaruhi desain politik nasional, termasuk potensi perubahan masa jabatan DPRD jika jadwal pemilu daerah digeser.
(Anton)