SUARAINDONEWS.COM, Jakarta-Yayasan Harapan Kita angkat bicara perihal pengambilalihan pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) oleh negara.
Yayasan Harapan Kita (YHK) menilai tema mengambil alih Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dari Yayasan Harapan Kita (YHK) oleh Negara, kurang tepat. Mengingat sejak tahun 1977 TMII telah ditetapkan sebagai milik Negara Republik Indonesia.
Hal ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1977, tanggal 10 September 1977. Bahkan, sejak tahun 2010 Pemerintah melalui Sekretariat Negara Republik Indonesia telah melakukan proses balik nama.
“Sertifikat Hak Pakai atas tanah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) seluas 146,7704 Hektar, dari atas nama Yayasan Harapan Kita menjadi atas nama Pemerintah Republik Indonesia Cq. Sekretariat Negara Republik Indonesia,” jelas Tria Sasangka Putra, SH., LLM., selaku Sekretaris Umum Yayasan Harapan Kita (YHK) kepada wartawan, di Gedung Badan Pengelola dan Pengembangan (BPP) TMII, Jakarta, Minggu (11/4).
Tampak hadir di acara Jumpa Pers tersebut antara lain, Direktur Utama Taman Mini Indonesia Indah, Mayjend TNI (Purn); Tanribali Lamo, Manajer Informasi Badan Pelaksana Pengelola TMII; Diah Irawati, serta Kabag Humas Badan Pelaksana Pengelola TMII, Adi Wibowo.
Mereka hadir untuk menanggapi pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara telah mengambilalih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dari Yayasan Harapan Kita (YHK).
Pengambilalihan tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan TMII, yang intinya menetapkan penguasaan dan pengelolaan TMII dilakukan oleh Kemensetneg RI.
Tria Sasangka menyampaikan, Yayasan Harapan Kita menghormati terbitnya Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2021. Hanya saja, menyayangkan banyak masyarakat mengira pengambilalihan hak kelola tersebut sebagai penyitaan aset TMII oleh Pemerintah.
“Menghormati terbitnya Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2021. Harapan kami pelestarian nilai-nilai budaya yang telah terbina dengan berbagai pemangku kepentingan selama 44 tahun, tetap terjamin, terjaga dan terbina sesuai amanah yang telah dimandatkan kepada Yayasan Harapan Kita,” ujanya.
Tria Sasangka juga menyatakan Yayasan Harapan Kita siap melakukan perundingan untuk membicarakan proses tindak lanjut pengelolaan TMII sesuai amanat Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2021.
Yayasan Harapan Kita selalu siap melaksanakan penugasan dari Negara dalam rangka melanjutkan visi dan misi yang telah diamanatkan oleh Ibu Negara Hj. Tien Soeharto sekaligus merupakan pengabdian kepada Negara.
“Upaya Pemerintah mengambil alih pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita, diharapkan juga tak mengganggu berbagai upaya dalam rangka memperkokoh ketahanan budaya bangsa,” ujar Tria Sasangka.
TMII Satukan Ragam Budaya
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) digagas Siti Hartinah Soeharto, yang akrab dipanggil Ibu Tien Soeharto. TMII mulai dibangun oleh Yayasan Harapan Kita pada 30 Juni 1972 dan diresmikan, 20 April 1975.
Prakarsa tersebut diilhami oleh pidato Presiden Soeharto tentang keseimbangan pembangunan antara bidang fisik-ekonomi dan bidang mental-spiritual.
Dengan mendirikan TMII, Tien Soeharto menyatukan beragam budaya Nusantara. Dilengkapi pengenalan flora, fauna, kuliner dan adat-istiadat leluhur bangsa ke dalam Indonesia kecil yang dibangun secara lengkap dan modern.
Gagasan tersebut dilandasi, antara lain semangat untuk membangkitkan kebanggaan dan rasa cinta tanah air dan bangsa, memperkenalkan Indonesia kepada bangsa-bangsa lain di dunia.
“Memberi kontribusi bagi rakyat, bangsa dan Negara, dalam bentuk warisan nasional (national heritage), budaya bangsa Indonesia untuk dilestarikan,” kata Tria Sasangka.
Sebagai rangkaian peristiwa, lanjut Tria Sasangka, penggagas TMII Ibu Negara Hj. Tien Soeharto, tidak pernah memiliki niat melakukan swakelola TMII. Hal ini dapat dilihat selama rentang waktu tiga tahun sejak pembangunan di tahun 1972 sampai dengan peresmian di tahun 1975, TMII langsung diserahkan ke Negara.
Terkait kontribusi keuangan dari TMII kepada Negara, Tria Sasangka menjelaskan, dalam pelaksanaan pengelolaan TMII ini, Yayasan Harapan Kita sebagai penerima tugas Negara tidak pernah mengajukan atau meminta kebutuhan anggaran kepada Pemerinah.
“Tidak selamanya pemasukan yang diperoleh Badan Pelaksana Pengelola TMII mencukupi kebutuhan operasional. Justru anggaran pengelolaan, pemeliharaan dan pelestarian, ditanggung Yayasan Harapan Kita,” kata Tria Sasangka.
Penatakelolaan TMII di bidang manajemen termasuk bidang keuangan, kata Tria Sasangka, diaudit secara otonom dengan membentuk unit organisasi pengelola, mengurus sumberdaya manusia, melaksanakan operasi menejemen, dan pemeliharaan.
“Audit keuangan juga dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, kelanjutan pembangunan pendanaannya dibiayai langsung Yayasan Harapan Kita tanpa bantuan Pemerintah,” ungkap Tria Sasangka.
Dukungan Penggiat Budaya di TMII
Pada kesempatan lain, sejumlah penggiat budaya di TMII juga menyayangkan pemberitaan media yang berkembang terkait, ‘TMII Diambil Negara,’ seolah memberi stigma negatif terhadap institusi yang terbukti telah berjasa selama bertahun-tahun mengelola TMII.
Tokoh spiritual dan budayawan, Pangeran Nata Adiguna Mas’ud Thoyib Jayakarta Adiningrat, menyebutkan, menjadi kewajiban Pemerintah memelihara dan melestarikan TMII tanpa istilah mengambil alih.
Dia menambahkan, empat tahun lagi, TMII berusia 50 tahun dan menjadi Benda Cagar Budaya.
“Jadi istilahnya bukan mengambil alih, tapi memang kewajiban Negara untuk memelihara dan membiayai pelestarian dan operasional TMII. Seperti halnya Museum Nasional dan benda cagar budaya lainnya untuk dimasukkan ke APBN,” ujar mantan Manajer Budaya TMII, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Yayasan Raja dan Sultan Nusantara ini.
Penggiat seni dan budaya, Eddie Karsito, meminta Pemerintah hendaknya dapat berfungsi sebagai pelindung dan pengayom kegiatan budaya, di tengah pergulatan menghadapi arus urbanisasi, kapitalisasi, modernisasi dan pragmatisme birokrasi.
“Kita memang harus beradaptasi. Kegiatan budaya memperoleh tekanan rasionalisasi ekonomi. TMII sebagai lembaga wajib menopang dan mengukuhkan agar budaya tetap terjaga kelestariannya. Jangan sampai budaya sekadar menjadi komoditas ekonomi,” ujar Pendiri Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS) ini.
Dibanding Pemerintah Pusat, menurut seniman dan budayawan, Suryandoro, Pemerintah Daerah lebih peduli dan perhatian menyemarakkan kegiatan budaya di TMII. Terbukti pembangunan sarana dan perawatan Anjungan Daerah, beserta program-programnya hingga kini terus berjalan.
“Kita wajib berterima kasih kepada ibu Siti Hartinah Soeharto berkat ide-idenya yang cemerlang. Peninggalan budaya Nusantara terselamatkan di TMII, seperti rumah-rumah adat, seni tari, seni musik, seni kriya dan sebagainya,” ujar Mantan Manajer Informasi TMII ini.
Bahkan, TMII turut menjaga keharmonisan pemeluk agama dengan membangun berbagai rumah ibadah.
“Rumah Ibadah semua agama dan kepercayaan yang diakui Negara dibangun secara berdampingan di kawasan TMII. Saya berharap Pemerintah dan masyarakat tidak berpikir negatif terhadap YHK,” ujarnya.
Pemerintah Pusat juga dinilai kurang peduli terhadap TMII. TMII dibiarkan jalan sendiri. Padahal hal ini kewajiban Negara terkait dengan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan budaya bangsa.
“Pemerintah wajib mengucapkan terima kasih kepada YHK yang dengan dedikasinya mengelola TMII selama 44 tahun secara mandiri. Tetap setia membayar pajak dan memenuhi regulasi lain sesuai aturan Pemerintah,” ujar Penggiat Budaya, Sigit Gunarjo. (Rls)